Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Karim

Saya seorang Akademisi

“Nelayan Cantrang” Juga Manusia

Diperbarui: 27 Januari 2016   19:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Ilustrasi - nelayan (KOMPAS / IWAN SETIYAWAN)

Kebijakan pelarangan alat tangkap pukat hela (trawl) dan pukat tarik lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No 2 Tahun 2015 ternyata menuai protes dari nelayan cantrang. Pasalnya, mereka terpaksa berhenti melaut. Mereka pun melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung. Mereka datang dari nelayan Pantura Jawa Tengah (Rembang, Semarang), Jawa Timur (Lamongan) hingga Indramayu (Jawa Barat) menolak kebijakan ini. Padahal kebijakan ini bertujuan mulia, yaitu memulihkan sumber daya ikan dan ekosistemnya. Sayangnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hanya sampai mengeluarkan kebijakan tanpa solusi yang tepat menyikapinya?

Anatomi
Secara empiris hingga kini KKP belum mampu memetahkan segmentasi nelayan pengguna dan pemilik cantrang. Sebelum mengeluarkan kebijakan larangan cantrang, KKP mestinya telah mendata pemilik, jumlah, dan segmentasi nelayannya. Pasalnya, pengguna cantrang ini amat beragam. Ada pemilik kapal (juragan) berukuran kapal di atas 30 GT. Ada pula nelayan tradisional paling banter berukuran 10 GT. Studi penulis tahun 2012 silam menemukan harga kapal cantrang berukuran di atas 30 GT berkisar Rp 1 – 1,3 miliar. Mungkinkah nelayan tradisional mampu membeli kapal seharga itu? Bank mana yang berani mengucurkan kredit buat nelayan tradisional yang tak punya agunan? Protes menentang kebijakan pelarangan cantrang di pantura Jawa Tengah dan Jawa Timur pun patut dicermati secara jernih dan kritis.

Timbul pertanyaan. Apakah betul semua nelayan pantura menolak kebijakan ini termasuk pengguna cantrang sekalipun? Jika ditelisik pemetaan nelayan yang menolak cantrang, pertama, nelayan tradisonal yang menggantungkan hidupnya pada alat tangkap ini. Umumnya mengoperasikan kapal berukuran di bawah 10 GT. Mereka pun beroperasi di perairan kurang dari 12 mil laut. Bila KKP membiarkan kisruh cantrang ini tanpa solusi, otomatis nelayan tradisional bakal nganggur dan terjembab dalam kemiskinan. Bukankah kebijakan Negara mestinya berimbas bakal menjauhkan mereka dari kesenjangan dan jurang kemiskinan? Bukan malah sebaliknya kian memperparah kehidupannya.

Kedua, nelayan pemilik kapal (juragan) yang mengoperasikan kapal berukuran di atas 30 GT. Kapalnya bisa beroperasi hingga perairan Samudera Hindia, Selat Karimata, hingga Laut Cina Selatan. Bisa saja mereka ikut mengail di air keruh di balik permen ini. Mereka memanfaatkan isu ini agar supaya nyali pemerintah ciut. Imbasnya Menteri KKP bakal melunak dan memperbolehkan cantang beroperasi lagi.

Ketiga, kelompok nelayan tradisional yang urungan dan bergotong royong membeli kapal cantang ukuran kurang 30 GT. Mereka bahkan berutang pada bank maupun lembaga keuangan non-bank hingga miliaran rupiah. Padahal mereka tak punya jaminan apa pun. Lantas siapa yang menanggung beban utang mereka ini? Apakah KKP mau menalanginya? Pastinya mustahil. Muncul pertanyaann kritis, nelayan mana sesungguhnya yang menolak PermenKP No 2 Tahun 2015 hingga berujung kerusuhan di pantura Jawa Tengah beberapa waktu lalu? Apakah nelayan tradisional, nelayan pemillik kapal cantrang (juragang) atau kelompok nelayan tradisional yang mengutang beli kapal cantrang? Hemat penulis KKP pun pasti sulit menjawabnya. Sebab, mereka pun tak punya data memadai. Agar masalah ini tak berlarut-larut, pekerjaan mendesak KKP ialah (i) memberlakukan masa transisi dan (ii) memetakan nelayan cantrang di pantura Jawa.

Masa Transisi

Kebijakan pelarangan pukat hela, pukat tarik (termasuk cantrang) dan sejenisnya patut didukung asalkan tidak menimbulkan masalah baru bagi nelayan. Sebelum kebijakan ini berlaku, KKP mestinya memberlakukan “masa transisi” dari masih menggunakan cantrang berubah ke alat tangkap ramah lingkungan. Dalam masa transisi ini, KKP mendata jenis alat tangkap yang dilarang, jumlah, segmentasi nelayan pemilik dan ukuran kapalnya. Masa berlakunya bisa tiga hingga empat bulan. Selama masa ini KKP bersama pemerintah daerah mengujicobakan juga jenis alat tangkap baru pengganti cantrang dan sejenisnya. Alangkah baiknya juga nelayan tradisional masih diperbolehkan mengoperasikannya. Terutama kapal-kapal berukuran di bawah 10 GT di perairan kurang 12 mil laut. Sembari menunggu jenis alat tangkap baru ramah lingkungan yang produktivitasnya relatif sama dengan cantrang. Setelah masa transisi berakhir semua nelayan tradisional menghentikan penggunaannya.

Kedua, bagi kapal di atas 30 GT yang beroperasi di atas 12 mil laut, KKP menghentikan total penggunaan cantrang dan sejenisnya, tanpa masa transisi. Pasalnya pemilik kapal (Juragan) umumnya bermodal besar, sanggup mengganti kapal dan alat tangkap baru. Umpamanya mengganti dengan kapal purse seine, longline maupun gillnet. Mereka berbeda dengan nelayan tradisional. Bila cantrang dilarang tanpa masa transisi nelayan tradisional bakal berhenti total melaut. Imbasnya, mereka terancam menganggur dan utang kian menggunung. Asap dapur pun terancam berhenti mengebul akibat tak punya sumber penghidupan lagi. Bukankah kebijakan semacam ini berujung kian memperparah kemiskinan struktural di komunitas nelayan?

Jika sedari awal KKP telah menyiapkan strategi tepat sebelum melarang penggunaan cantrang, munculnya tindakan penolakan lewat demonstrasi anarkis hingga gugatan ke MA pastinya bakal tak terjadi. Sayangnya, KKP hingga kini belum punya strategi keluar (exit strategy) menghadapi masalah ini. Faktanya, Menteri KP Susi Pujiastuti cuma menjanjikan “kelonggaran” lewat omongan bagi nelayan di Jawa Tengah. Apakah sebuah kebijakan bisa jadi pegangan mengubahnya lewat omongan? Pastinya tidak demikian. Nelayan cantrang butuh kebijakan win-win solution yang tidak mencederai kebijakan pemerintah di satu sisi. Sementara, di sisi lain nelayan sebagai warga Negara mesti menaati hukum, aktivitas melaut tetap berlangsung, hingga asap dapurnya tetap mengebul. Kendati pun nantinya kapal dan alat tangkap cantrang hilang total beroperasi di perairan Indonesia. Biar bagaimanapun, nelayan cantrang juga manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline