Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Karim

Saya seorang Akademisi

Menyorot Kematian Ikan Massal

Diperbarui: 14 Januari 2016   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Pada tanggal 1 Desember 2015 harian ini memasang headline terkait kematian ribuan ikan mati di sepanjang pantai Ancol Teluk Jakarta (Kompas 01/12/2015). Kejadian ini problem serius bagi pemerintah DKI Jakarta. Ada pihak yang mensinyalir terkait mega proyek reklamasi. Ada pula pendapat lain, mulai dari soal gejalah alamiah hingga pencemaran logam berat. Kasus ini menjadi PR besar bagi pemerintah DKI dibawah kepemimpinan Basuki Cahaya Purnama (Ahok). Pasalnya, kejadian serupa sudah kerap berlangsung di Teluk Jakarta semenjak tahun 1980-an hingga kini. Anehnya, perdebatan di ruang publik lewat media massa koran, elektronik hingga sosial kerap terjadi tanpa solusi komprehensif. Jadi, wajar saja kejadiannya terus berulang hingga kini.

Penyebab
Kematian ikan massal di sepanjang pantai Ancol Teluk Jakarta bukan peristiwa baru. Rentetan kematian ikan massal di Teluk Jakarta ini, nyaris sudah berlangsung lebih dari tiga dasa warsa. Secara ilmiah, kejadian tahun 2015 ini setidaknya disebabkan tiga hal: pertama, musim hujan yang datang akhir tahun 2015 mengakibatkan air laut mengalami pengadukan dan pembalikan sediman di dasarnya yang mengandung gas-gas beracun berupa amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S). Dalam kondisi normal, gas-gas tersebut terperangkap dalam sediman massif di dasar laut. Ketika konsentrasinya meningkat disertai pengadukan akibat hujan menimbulkan tekanan hingga menyebabkan gas beracun terlepas ke kolom air hingga permukaan. Imbasnya, ikan-ikan dan biota yang hidup di kolom dan permukaan air bakal mengalami kematian massal secara mendadak. Dugaan penulis gas-gas beracun tadi bisa bersifat alamiah dan juga berasal dari buangan limbah beracun yang terbawa air sungai akibat awal musim hujan.

Kedua, pencemaran logam berat yang melewati ambang batas. Hal ini disebabkan buangan: limbah industri, permukiman dan sampah masyarakat yang melewat daerah aliran sungai (DAS) hingga proses run off yang kesemuanya masuk ke Teluk Jakarta. Kejadian ini sudah berlangsung lama. Badan Tenaga Aton Nasional (BATAN) telah mendeteksinya sejak tahun 1980-an. Ia melaporkan bahwa kandungan logam berat pada ikan-ikan dari Teluk Jakarta saat itu relatif tinggi dan melampaui ambang batas. Kandungan merkuri (Hg) mencapai 0,6 ppm dan timbal (Pb) o,3 ppm (part-permillion). Padahal menurut badan pengawas obat dan makanan (Food Drug Administration/FDA) di AS menetapkan kandungan ambang batas merkuri 0,5 ppm dan timbal 0,2 ppm pada ikan yang dikonsumsi (Sumarno, 2003). Riset PKSPL IPB tahun 2014 dalam kejadian serupa juga menemukan pada daging ikan sampel kandungan Timbal (Pb), Merkuri (Hg) dan Kadmium (Cd). Meskpiun masih dibawah ambang batas (PKSPL-IPB, 2004). Akan tetapi akumulasi ketiga logam berat ini dalam tubuh manusia dapat mengakibatkan penyakit paru-paru, kanker dan kesehatan ibu hamil. Supaya tingkat akumulasi ketiga logam berat dalam tubuh ikan, kerang-kerangan, dan krustasea yang ditangkap di kawasan Teluk Jakarta terdeteksi kandungannya, pemerintah DKI mestinya memantau secara periodik dan mengendalikannya secara serius. Imbasnya, bakal konsemen akan aman mengkonsumsi makanan laut dari kawasan ini. Sayangnya, nasi sudah jadi bubur. Kerapkali kejadian sudah berlangsung baru ada perhatian dan diributkan.

Ketiga, terjadinya blooming fitoplankton atau red tide di perairan Teluk Jakarta. Kejadian ini menandakan intensitas dan distribusi blooming meningkat tajam. Red tide adalah suatu kondisi dimana tanaman bersel satu dan berukuran kecil yang hidup di laut mengalami pertumbuhan amat cepat serta terakumulasi dalam kumpulan yang gampang terdeteksi di permukaan air laut. Laut yang mengalami red tide bakal merusak insang ikan secara mekanis. Hingga melalui pembentukan bahan kimia beracun, neurotoksin, hemolitik/bahan penggumpal darah menyebabkan kerusakan fisiologi insang, organ utama (seperti hati), usus, sistem sirkuler, serta mengganggu proses osmoregulasi (Wardianto, dkk, 2004). Jenis plankton yang menyebabkan red tide dan beracun: Chaetoceros, Dinuphysis, Alexandrium tamarense dan Preudinitzia. Hal inilah yang memicu kematian ikan massal secara mendadak karena oksigen di perairan nyaris tidak ada karena terpakai fitoplankton untuk proses fotosintesis.

Matinya ikan massal saat ini bisa saja dipicu salah satu atau gabungan dari tiga penyebab di atas. Muncul pertanyaan, apakah mega proyek reklamasi yang diributkan ikut berkontribusi? Bisa saja berkontribusi memicu kematian ikan massal ini, tapi lebih bersifat tidak langsung (indirect). Pasalnya, pengurukan laut berimbas pada perubahan garis pantai, pola arus, proses biogeokimia, dan tipe ekosistem. Dampaknya biota perairan pun akan mengalami tekanan (stress) akibat berubah niche ekologi secara total. Untuk membuktikannya mesti meneliti secara mendalam dan independen agar hasilnya obyektif.

Alarm
Kematian ikan massal yang kerap terjadi di kawasan Ancol Teluk Jakarta bukan hal sepele. Ini mestinya menjadi alarm bagi Pemerintah DKI Jakarta yang getol membangun proyek-proyek di pesisir Teluk Jakarta. Pemda DKI mesti mengevaluasi dan meninjau ulang kelayakan lingkungan serta dampak ekologisnya terhadap mega proyek reklamasi, pembangunan tembok penahan gelombang, perluasan pelabuhan, permukiman mewah, hingga kawasan bisnis. Hal ini penting karena jika dibiarkan bakal berpotensi menggerus penurunan daya dukung lingkungan laut (carrying capacity), degradasi sumberdaya ikan dan pesisir (terumbu karang, padang lamun dan rumput laut) di wilayah tersebut. Selain itu, kehidupan nelayan tradisional yang menyandarkan hidupnya dari menangkap ikan dan mencari hasil laut berada di ujung tanduk. Makanya, pemerintah DKI mestinya melindungi dan menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan dan ekosistem pesisir serta kehidupan nelayan tradisional yang bermukim di wilayah tersebut. Belum lagi ancaman perubahan iklim yang kian memperparah degradasi sumberdaya ikan, dan ekosistem pesisirnya. Terakhir, kejadian kematian ikan massal Tahun 2015 mestinya menjadi pintu masuk bagi Pemerintah DKI Jakarta untuk membenahi dan menata ulang pengelolaan dan pemanfaatan Teluk Jakarta. Hal dimaksudkan agar keseimbangan ekologi, metabolisme alamiah, sumberdaya ikan maupun pesisir hingga kehidupan sosial ekonomi masyarakat (terutama nelayan) tetap berkelanjutan serta mendapatkan “keadilan” tanpa dikorbankan proses pembangunan.

 

Oleh: Muhamad Karim
Dosen Bioindustri Universitas Trilogi, Jakarta/
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline