[caption id="attachment_175234" align="aligncenter" width="465" caption="ilustrasi / kemenag.go.id"][/caption] By. Masykur A. Baddal - Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah di Mekkah, merupakan impian hidup semua ummat muslim. Karena, sebagai seorang muslim, rasanya belum sempurna semua amal ibadah yang telah dilakukan, jika belum menunaikan ibadah Rukun Islam yang kelima tersebut. Demi tercapainya impian hidup itu, berbagai usaha dilakukan untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Dimaklumi, untuk taraf hidup masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, biaya perjalanan haji tergolong sangat mahal dan besar. Sebab, disamping uang sebagai bekal selama di tanah suci, mereka juga harus menyiapkan bekal untuk kelangsungan hidup keluarga yang ditinggal di tanah air. Tidak jarang, demi mencapai ambisi tersebut, manusia sering melupakan unsur kesucian sumber uang yang didapatkan. Mungkin saja, hal itu didorong oleh semangat yang menggebu-gebu untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dalam waktu yang singkat, supaya dapat ber haji lebih dini. Di lain pihak, ada juga yang seumur hidupnya bekerja pontang-panting mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, agar dapat berhaji kelak di hari tua. Sehingga biaya tersebut baru bisa terkumpul setelah yang bersangkutan berusia senja pula. Fenomena diatas, merupakan realitas hidup hampir seluruh rakyat Indonesia. Yang menyimpan asa untuk berhaji ke Baitullah. Jikalau kita telusuri satu-persatu dari Sabang hingga ke Marauke, sungguh akan kita jumpai bahwa kasus tersebut merupakan fakta yang nyata. Dari beberapa kali pengalaman berhaji ke Baitullah, aku pernah diperbantukan ke berbagai kantor pelayanan haji di kota Mekkah dan Madinah. Ternyata, selama bekerja melayani Tamu Allah, banyak peristiwa-peristiwa aneh dan unik yang aku jumpai, kadang kejadian tersebut sudah di luar nalar manusia biasa. Kadang aku menjadi tempat curhat para calhaj itu sendiri. Tidak jarang seorang calhaj menceritakan dengan bangganya, bahwa haji yang akan dilaksanakan tersebut adalah hajinya yang ke dua, tiga atau keempat. Ada juga yang mengatakan, bahwa dia ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji (haji badal) untuk orang tuanya yang telah tiada. Atau, mereka menceritakan bahwa keluarga besarnya kaya raya, sehingga untuk berhaji setiap tahunnya adalah hal biasa. Malah ada yang dengan tawadhuknya, seorang calhaj bercerita, ia bekerja sejak umur 20 tahun mengumpulkan biaya berhaji sedikit demi sedikit. Pernah suatu ketika aku dikejutkan, karena ada seorang calhaj dari kantor tempat ku bekerja, sudah empat hari belum kembali ke pemondokan. Kejadian tersebut sudah dilaporkan ke polisi setempat, namun belum ada berita lanjutannya kemana calhaj itu pergi. Bahkan ada yang berspekulasi, kemungkinan calhaj itu tewas karena terhimpit, atau mengalami kecelakaan sewaktu pulang ke pemondokan. Kami pun membentuk tim untuk menyisir setiap rumah sakit yang ada di Mekkah, guna mencari tahu tentang calhaj yang hilang itu. Namun, hasilnya tetap nihil, karena calhaj itu hilang bak ditelan bumi. Sekitar pukul 17.30 waktu Mekkah. Kepala kantor muassasah memanggil semua stafnya, serta meminta semua stafnya untuk mencari calhaj yang hilang itu di semua pelosok Mesjidil Haram. Tentu saja ini bukan pekerjaan yang gampang, mencari seorang calhaj di tengah ratusan ribu jama'ah bukanlah hal sepele. Tapi, dengan keyakinan bahwa Allah SWT akan membantu, akhirnya kami yang tergabung dalam sebuah tim, memulai tugas pencarian tersebut, setelah terlebih dahulu membagai lokasi pencarian masing-masing anggota tim. Aku mendapat tugas pencarian dalam Mesjidil Haram. Setelah shalat Isya, pencarian itupun mulai ku laksanakan. Biasanya setelah shalat Isya berakhir, semua jama'ah akan terkonsentrasi di sekitar Ka'bah untuk melakukan tawaf. Sehingga pasti beberapa pojok mesjid akan terasa lebih lega, demikian prediksiku. Sebagai langkah antisipatif, sewaktu para calhaj baru tiba di Mekkah, kantor haji telah mengingatkan, jika sewaktu-waktu kesasar di dalam Mesjidil Haram, supaya para calhaj menunggu di tiga titik, yaitu: di bukit Shafa, bukit Marwa dan terakhir di sumur Zamzam. Memang betul seperti prediksi ku, setelah selesai shalat Isya, terlihat para jama'ah mulai bergerak untuk melakukan tawaf. Pencarianku pun dimulai, dengan terlebih dahulu menyisir ketiga tempat tersebut. Namun tetap saja aku tidak dapat menemukan calhaj yang dicari. Kurang lebih tiga jam sudah aku menyisiri setiap pelosok Mesjidil Haram, namun yang dicari tetap saja tidak ditemukan. Keletihan pun mulai menderaku. Lalu aku beristirahat sejenak sambil meneguk beberapa gelas air Zamzam yang tersedia di setiap pojok mesjid terbesar dunia itu. Seketika kesegaran dan semangatku pun bangkit kembali. Betul-betul berkah dari air Zamzam yang tiada duanya, gumanku dalam hati. Akhirnya, aku mendapatkan ide untuk menyisir antara bukit Shafa dan Marwa. Berarti aku harus ikut melakukan Sa'i antara kedua bukit tersebut, dengan harapan Allah SWT memberikan petunjukNya. Lalu bergabunglah aku dengan para jama'ah yang sedang melakukan Sa'i. Tepat pada batas cahaya lampu hijau, sebagai isyarat untuk memulai berlari-lari kecil, sekilas mataku memandang ke arah tangga naik ke lantai dua. Terlihat di bawahnya seorang calhaj berwajah Indonesia dengan pakaian koko dan sarung garis-garis hitam. Terlihat jelas wajahnya dalam ketakutan dan cemas. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung keluar dari barisan Sa'i tersebut, dan menghampiri calhaj itu. Badannya bergemetaran dan matanya melotot, sembari berkata dengan logat daerahnya yang kental yang artinya" Jangan tangkap saya, saya jamaah haji Indonesia ". Aku berusaha menenangkan calhaj itu, sembari meminumkan segelas air Zamzam ke mulutnya. Ternyata aku mengenalnya, disamping tanda kantor haji yang masih melekat di dadanya, calhaj itu pun sering bercerita tentang keluarganya yang kaya raya selama ini. Setelah kondisinya mulai kelihatan agak tenang, aku pun mulai bertanya, " kenapa bapak bersembunyi di bawah tangga ini? Lalu, mengapa bapak tidak kembali ke pemondokan? ", dengan bibir yang masih bergemetar ia mejawab, " aku ketakutan karena tentara gajah itu mau menangkapku, dan mereka telah mengurungku di benteng ini, semua pintu mereka tutup rapat-rapat ". Tanpa kusadari lidahku pun mengucapkan " Subhanallah ". Dengan penuh rasa iba, ku gapai erat-earat badan calhaj tua itu, serta membawanya kembali ke pemondokan, yang hanya berjarak 200m dari Masjidil Haram. Dua hari telah berlalu, namun kondisi calhaj belum juga ada perubahan. Seolah-olah ia dikejar-kejar oleh bayangannya sendiri. Padahal setelah dicek oleh dokter setempat, kondisi psikologis yang bersangkutan normal, hanya mengalami kelelahan akibat kurang asupan makanan. Hingga prosesi pelaksanaan haji berakhir kondisi calhaj tersebut tetap tidak berubah, sehingga menghalanginya untuk melaksanakan ibadah haji secara sempurna. Ternyata, peristiwa itu menjadi ajang instropeksi bagi sebagian jama'ah. Malah ada yang berkata lantang " Makanya, kalau naik haji jangan pakai uang siluman, itu akibatnya". Ternyata tanpa dikomando semua jama'ah yang hadir disitu mengiyakan ucapan tersebut. Tanpa disadari, kloter haji itu pun sudah tiba gilirannya untuk segera kembali ke tanah air. Dan kini, bersiap-siap menuju kota Jeddah, yang selanjutnya melanjutkan penerbangan menuju tanah air. Dari informasi yang kami terima, sesampai di Jeddah secara menakjubkan calhaj tua tersebut, kembali sehat walafiat seperti sedia kala. Semoga kisah nyata ini memberikan hikmah kepada kita semua. Amin. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H