(sebuah cerpen dari Can)
Pardo masih saja terus membaca tulisan demi tulisan di buku muridnya itu. Membaca setiap kalimat yang tergores di sana, membaca makna dan mencoba menempatkan dirinya pada posisi muridnya. Pardo terhenti pada buku Lukman, anak murid yang baru saja masuk ke kelas 3 itu menarik perhatian Pardo, bukan hanya karena tingkahnya yang lucu, ia juga tertarik pada sebuah kalimat yang ia tuliskan di bukunya,
"Aku benci di keluarga ini, tidak ada hal yang kusuka, tidak ada yang bisa membuatku bahagia".
Kata-kata itu menarik perhatiannya, sangat membuatnya tersadar akan masa lalunya. Pardo mencoba membaca keseluruhan tulisan itu, beberapa kali, ia tertawa kecil. Mungkin karena susunan tata bahasa Lukman yang lucu, atau mungkin Lukman membuat lelucon di sana, atau mungkin Pardo tertawa hanya karena itu mengingatkannya pada anak ingusan yang selalu bersamanya dulu. Entahlah.
*10 tahun sebelumya*
"Pardo, hujon lobe ho (Pardo, mari ke sini, nak)," Mak Yanti memanggil Pardo dengan kasar.
Dengan sigap, Pardo meninggalkan boneka berbie-nya dan langsung menuju panggilan ibunya itu. Dengan lari-lari kecil, jantung Pardo gugup luar biasa. Tekanan ibunya sudah dikenalnya sejak dua tahun lalu. Kalau masih nyaman di telinga, berarti ibunya hendak mengajak makan. Kalau satu telinga sudah kesakitan, itu pertanda bahwa ibunya ingin menyuruhnya membeli demban (daun sirih) atau seikat tembakau di warung Rista. Jika kedua telinga sudah sakit mendengar, berarti masalah besar terjadi. Benar saja, ketika kaki Pardo menghadap ibunya,
"Ini apa?" Mak Yanti memegang sebuah ikat rambut berwarna merah, satu karet gelang berwarna ungu, dan dua kep rambut berwarna kuning kusam dengan pola bunga di salah satu sisinya.
"Pardo, jawab ini apa?" mak Yanti yang sedang menyuci itu harus menghentikan pekerjaannya terlebih dahulu. Ia ingin mendengar jawaban anaknya itu. Ia heran kenapa benda-benda seperti itu harus bertengger di kantong celana sekolah anak bungsunya itu.
Pardo yang hanya bisa kaget dan mengutuk dirinya sendiri. Tak sekata keluar dari mulutnya, ia gugup, hal yang selama ini ia sembunyikan, justru tertangkap basah di kamar mandi berlantai batu ini. Ia diam, tak menjawab. Ia bingung hendak mengatakan alasan, ia tahu ibunya tak akan mudah percaya.
"Kamu nggak mau jawab? Ini punya siapa Pardo?" Ibunya terus menagih tanpa henti.