Lihat ke Halaman Asli

Candika Putra Purba

Pengajar Bahasa Indonesia

Sulastri

Diperbarui: 21 Maret 2021   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(sebuah cerpen dari can)

Wanita itu berdiri menyambut mentari. Memandang kosong ke ujung jalan berharap sebuah kendaraan mengangkut tubuhnya. Pakaian rapi dengan atasan dan bawahan putih terlihat pas di tubuhnya. Namun, walaupun gincu merah menghiasi bibirnya, dan beberapa bahan lain memperindah mata dan menghilangkan kerutan di sana, hati tak mau berbohong dan mata tak mau berdusta.

Namanya Sulastri, perawat muda yang baru pindah dari Sibolga, menetap erat di salah satu rumah di dekat rumah kami di Pematang Raya. Memang tidak terlalu dekat, namun setiap hari ia akan lewat dari rumahku sambil berseragam putih dan tas hitam menggantung di bahunya. Setiap hari sebelum hari ini, aku selalu menikmati senyum Sulastri yang terbit seperti mentari. Indah, hangat dan menyenangkan.

Namun, pagi ini, matahari itu sirna. Mungkin di bawa bulan hingga ke angkasa dan tak mengembalikannya. Wajah Sulastri sedikit mengganggu pikiranku. Menanyakan entah apa yang ada di dalam otaknya. Apakah tentang uang, jodoh, atau keluarga. Aku tak mendapatkan jawaban yang tepat hingga satu hal kupikirkan. Sebelum pagi ini, tepat jam 9.30 tadi malam, beberapa warga berteriak memarahi Sulastri. Aku yang sedang memasak mi goreng tak terlalu peduli keadaan seperti itu, sebab lazim rasanya jika warga batak berkata-kata dengan keras.

Hingga sore, senyum Sulastri tak kunjung terbit. Setelah kakinya turun dari bus, derita dan suram menghiasi wajahnya. Hanya membawa tas hitam, Sulastri berjalan cepat sambil menundukkan kepala layak buronan kelas kakap. Matanya masih redup seperti embun hitam di sore ini.

"Woi, Sulastri, jangan dekat-dekat kau sama kami," beberapa ibu yang sedang bergosip di dekat rumah Sulastri, meneriakkan kata-kata menyakitkan pada Sulastri. Ia diam, menunduk, dan terus bergerak menuju pintu rumahnya.

Dengan pelan, sang Bagaskara melambaikan tangan pada umat manusia. Jam tujuh sudah datang dan bulan akan menemaninya, jika ia tidak lupa. Kunikmati malam ini dengan secangkir teh manis dan roti A.T.B, kiriman cucuku minggu lalu. 

Dengan diam, aku menyimak perbincangan sengit yang terjadi di samping rumah. Berlagak tidak mendengar, namun kuberjuang mencatat info demi info yang terucap dari bibir mereka. Mak Japri, selalu punya info terbaru tentang apa pun. Mulai dari harga cabai, baju rombengan, kalangan artis, hingga perkara suami istri di kampung sebelah pun terdengar jelas di telinganya. Perangainya yang lucu sering menghibur warga, namun kata-kata kasarnya menyiksa warga.

"Kelen tahu weh, si Sulastri itu kerja di rumah sakit kan," Mak Japri memulai dengan pembukaan yang menggiurkan sambil melambaikan tangannya menunjuk ke arah pintu rumah Sulastri.

"Iya tahu kami, emangnya kenapa Jap?" Mak Surni bertanya penasaran.

"Kelen nggak takut? Kan dia kerja ngurusin orang-orang yang kenak Corona." Mak Japri masuk dalam topik bahasan. Beberapa ibu yang ikut berkumpul mempertimbangkan perkataan Mak Japri, sebab memang benar Sulastri bekerja di rumah sakit, namun tidak berarti ia berbahaya di area rumah kami. Pergosipan selesai jam tengah 11, setelah pergosipan tentang Sulastri berujung. Ibu-ibu yang lain menyetujui perkataan Mak Japri untuk tidak terlalu sering bergaul dengan Sulastri. Mereka juga menyebarkan hasil perundingan mereka malam ini pada anak dan keluarga mereka yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline