Lihat ke Halaman Asli

Ignasia Kijm

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Suara Hati Perempuan Kepala Keluarga

Diperbarui: 4 Februari 2021   21:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan kepala keluarga memikul tanggung jawab tunggal menghidupi keluarganya. (foto dokumentasi pribadi)

Selama ini pria selalu diposisikan sebagai kepala keluarga yang identik dengan pencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya. Faktanya, tidak sedikit perempuan yang mengambil alih peran kepala keluarga. Berbagai alasan melatarinya.  

Siang itu Sumirah melepas lelah dengan berbincang bersama pedagang lainnya. Sesekali Sumirah melangkahkan kaki mengingat ia duduk dalam waktu lama sedari pagi. “Lutut saya kadang sakit kalau duduk dalam posisi ini,” tutur Sumirah saat dihampiri penulis.

Bermodalkan tampah, ember, dan kursi kecil Sumirah menggelar dagangannya. Saat itu tersisa tujuh ikan mujair kecil. Sumirah berharap masih ada pembeli yang mendatanginya. “Setiap hari suami menjemput karena saya nggak bisa jalan jauh. Apalagi tahun lalu saya operasi batu empedu,” kata Sumirah yang tinggal di RT 04 RW 02, Sunter Agung, Jakarta Utara.  

Terhitung lebih dari 10 tahun Sumirah berjualan ikan di Pasar Bambu Kuning, Sunter Agung. Tidak ada pilihan lain. Suaminya yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit jatuh sakit. Sementara itu tiga anaknya masih bersekolah. “Alhamdullilah suami yang dulunya sakit lambung kronis sekarang mulai membaik,” tutur Sumirah yang berusia 55 tahun.

Saat itu Sumirah sempat bekerja di konfeksi seminggu sekali. Ia juga pernah berjualan makanan di rumah tapi sepi pembeli. Selain itu Sumirah kelelahan memasak. Ia menyerah. “Hasil yang diperoleh belum mencukupi keperluan keluarga,” tutur Sumirah.

Suatu hari beberapa orang menawari Sumirah berjualan ikan gurami yang didapat dari Danau Sunter. Ia menerima tawaran tersebut. “Alhamdullilah hasilnya bisa untuk makan. Alhamdullilah anak-anak sudah selesai sekolah tapi dua anak masih menganggur. Anak pertama sudah punya tiga anak dan tinggal di Cikarang,” ujar Sumirah yang memilih berjualan di Pasar Bambu Kuning yang tidak jauh dari rumah.

Sumirah menyampaikan, ada orang yang mengantarkan 10 kg ikan, ada pula yang mengantarkan 3 kg ikan ke rumahnya. Semua ikan itu dikumpulkan Sumirah untuk dijual. Selain ikan mujair, sesekali ia menjual ikan gabus. Ikan mujair kecil dihargai Rp 25 ribu/kg, sementara itu ikan mujair besar Rp 35 ribu/kg.  “Kalau tidak ada orang yang mengantar ikan, saya nggak dagang,” tutur Sumirah.

Sehari-hari Sumirah berjualan pada pukul 05.30-10.30. Pembeli ramai berdatangan pada pukul 06.00-08.00. “Ikan yang tersisa biasanya saya simpan di kotak pendingin untuk dijual esok harinya,” tutur Sumirah.

Selesai berdagang Sumirah berbelanja bahan makanan di pasar. Sesampainya di rumah ia memasak, mandi, shalat, lantas beristirahat. Di tengah kesibukannya, Sumirah bersyukur masih bisa menghabiskan waktu bersama keluarga.

Walaupun demikian ada duka yang terselip di balik perjuangan Sumirah. Ia harus pandai mengelola keuangan agar mampu membayar sewa rumah serta tagihan listrik dan air. Tak hanya itu, Sumirah harus menyisihkan Rp 10 ribu per hari untuk membayar sewa lapak.

Selama pandemi COVID-19 beban yang dirasakan Sumirah semakin berat. Sejak Maret 2020 terjadi penurunan omset. Sebelum pandemi, ikan mujair 15 kg yang dibawanya selalu habis terjual. Kini dari jumlah tersebut tersisa 6 kg. “Berjualan itu kadang ramai, kadang sepi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline