Karya yang sarat dengan lokalitas timur Indonesia adalah harta karun tak ternilai. Ke depan akan lahir penulis-penulis muda Papua yang memperkaya dunia literasi Indonesia.
'Eh, perem stop online su, tiap menit ko tinggal ol trus. Tra cape ka?' Kalimat itu menjadi pembuka cerpen yang ditulis Chrisanta Sandy Loi. Karya tersebut termuat dalam buku berjudul Impian di Tepi Bakaro: Kumpulan Cerpen Manokwari. Nilai lebih bacaan itu adalah gaya bahasa, struktur kalimat, narasi, dialek, dan pola tutur sehari-hari Melayu-Papua dan setting kota Manokwari. Wakil Pemimpin Umum Harian Cahaya Papua Manokwari, Patrix Barumbun Tandirerung menyebutkan buku tersebut menghentikan kebuntuan tradisi menulis di kalangan muda Manokwari.
Para penulis cerpen berasal dari beragam latar belakang, mahasiswa, sarjana, hingga karyawan. Namun yang mengejutkan, di antara mereka ada yang masih berstatus pelajar SMA. Diawali dengan penyelenggaraan lomba menulis cerpen pada Oktober 2013 dengan tema Cinta di Manokwari. Lomba tersebut diselenggarakan oleh Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Papua Barat bekerjasama dengan Komunitas Suka Membaca (KSM) Manokwari yang digerakkan oleh David Pasaribu. Tujuannya selain menghasilkan buku sebagai bahan bacaan, juga menggairahkan kegiatan menulis di Papua Barat.
Ketua FTBM Papua Barat, Aksamina Kambuaya menjelaskan, sudah saatnya ada karya tulis yang menceritakan keindahan alam, sejarah, budaya, tradisi, dan keseharian masyarakat Papua. Selain itu menceritakan harapan, cita, maupun cinta anak-anak Papua yang diprakarsai dan ditulis oleh generasi Papua itu sendiri. Penggunaan logat Papua selain merupakan syarat lomba dan identitas buku, juga sebagai upaya memudahkan peserta lomba dalam menulis dan bereksplorasi.
Sementara itu Onassius Pieter Moshe Matani dari DPD KNPI Provinsi Papua Barat memaparkan seringkali masyarakat lebih menonjolkan budaya luar, tanpa menyadari potensi budaya sendiri yang menjadi akar. Budaya tersebut juga merupakan warisan yang layak dikembangkan menjadi nilai-nilai pendidikan yang baik untuk generasi Papua saat ini dan masa mendatang.
Menurut Onassius, buku ini merupakan karya kreatif brilian dari anak-anak muda yang lahir dan tumbuh di lingkungan alam Papua. Dengan demikian mereka memahami dan dapat menceritakan kisah-kisahnya dengan sangat nyata dan menyentuh. Onassius berharap kumpulan cerpen ini mampu menggugah inspirasi dan membangkitkan semangat untuk lebih mencintai tradisi, seni, dan budaya Papua. Selain itu membangun karakter yang kuat dan rasa cinta kepada Tanah Papua.
Awalnya David ingin mengumpulkan teman-teman yang memiliki minat yang sama dengan dirinya yaitu membaca. Ia kemudian menempelkan pengumuman di mading Fakultas Sastra Universitas Papua dan perpustakaan daerah. Hingga pada 20 April 2013 KSM lahir. Slogan 'Sa Suka Membaca, Ko Bagaimana' bertujuan meningkatkan minat baca masyarakat sekaligus berusaha mengangkat karya-karya sastra, baik cerpen maupun novel yang dihasilkan penulis dari Tanah Papua. "Saya ingin wadah kegiatan yang konsisten dan berkelanjutan," tutur David.
Setiap bulan diadakan pertemuan yang diisi dengan sharing bacaan hingga meminjam dan mengembalikan buku yang diadakan di rumah David. David memposisikan dirinya sebagai koordinator yang memfasilitasi kebutuhan anggota KSM dengan menyisihkan uang dari kantongnya. David mendorong anggota aktif turun ke lapangan. "Sebenarnya ada gap usia yang jauh antara saya dan mereka. Sebagian besar anggota adalah perempuan, hanya lima laki-laki termasuk saya. Hal itu mempengaruhi hubungan," kata David yang meraih gelar magister Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gadjah Mada.
Merayakan Keberagaman
KSM beranggotakan 40 orang dengan 15 anggota aktif. David membentuk kepengurusan yang terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara. Selain iuran dan simpanan, ia berharap ada pemasukan lain. Karena anggota KSM gemar membaca maka produknya harus buku. Dengan demikian di Papua ada bahan bacaan, tidak hanya membaca buku dari luar. "Melalui buku ini kami merayakan keberagaman. Ada Jawa, Batak, dan lain-lain dengan kekhasannya," ujar David.
Suatu hari KSM membuka stand di sebuah bazaar. Mendatangi stand tersebut, Bupati Manokwari Bastian Salabai tersenyum. David menduga, Bupati Salabai tidak menyangka ada karya anak-anak Manokwari. Sebab selama ini belum ada bahkan jarang tulisan tentang Papua yang ditulis oleh orang Papua. Seluruh buku selanjutnya dibeli oleh Direktur STT Erikson Tritt Manokwari tahun 2002-2009 itu. "Sebagai seorang doktor, Bupati Salabai excited akan bacaan ini," tutur David.