Jumlah generasi millenial yang melakukan investasi properti meningkat signifikan. Survei yang dilakukan Rumah123 menunjukkan 27,29% millenial menjadi investor properti pada 2018. Jumlah tersebut naik pesat dibandingkan 4,43% millenial yang menjadi investor properti pada 2017. Kenaikan tersebut dilatarbelakangi peningkatan kesadaran perihal properti yang memiliki return bagus dan pergeseran definisi investor pada generasa millenial itu sendiri.
Meskipun membeli properti untuk pertama kalinya, generasi millenial sudah menggolongkan dirinya sebagai investor. Sebanyak 60,32% millenial berusia 22-28 tahun mencari hunian sebagai bentuk investasi. Sementara itu 75% millenial berusia 29-35 tahun mulai mencari hunian untuk investasi.
Rata-rata terjadi 10% kenaikan penghasilan. Tentunya bergantung pada inflasi. Jika inflasi mulai turun, penghasilan tidak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu harga rumah mengalami kenaikan yang luar biasa, rata-rata 20%.
Dengan kata lain, terjadi ketimpangan antara penghasilan dengan harga rumah itu sendiri. Jika millenial terus menunda membeli rumah, rumah semakin tidak terbeli.
Di satu sisi, millenial melihat properti itu mahal. Mereka merasa tidak mampu membelinya. Di sisi lain millenial memilih membeli barang lain, termasuk barang yang tidak perlu atau barang yang mengalami penurunan harga ke depannya. Padahal prinsip ekonomi mengatakan, beli barang yang mengalami kenaikan harga ke depannya.
Gaya hidup konsumtif menghambat millenial membeli rumah. Sejak kecil kita diajarkan bermacam-macam hal. Namun kita tidak pernah diajarkan cara mengatur uang. Ketika menerima gaji, sebagian besar orang Indonesia membeli berbagai barang. Sisa uang digunakan untuk menabung atau cicilan rumah. Mereka tidak melakukan hal sebaliknya. Padahal itu yang dianjurkan.
Properti adalah produk ekonomi yang harganya dibentuk oleh supply dan demand. Selain itu properti adalah satu-satunya produk yang berpotensi tidak laku terjual ketika didiskon, berbeda dengan mobil atau gadget. Ketika properti didiskon, muncul tanda tanya. Mungkin produknya jelek. Sementara itu properti yang terus mengalami kenaikan harga dinilai bagus.
Dilihat dari gaji, hanya 17% millenial di Jakarta yang bisa membeli rumah di Jakarta dengan harga di bawah Rp 300 juta. Padahal hanya ada 1,7% rumah di kisaran harga itu.
Bicara lokasi hunian, semua orang, tidak hanya millenial, mencari lokasi yang dirasa akrab. Sebagai contoh, area mereka lahir dan besar atau area perkantoran. Ada juga area yang dirasa tidak familiar tapi mereka terbuka. Sebagai contoh, area yang sedang mengalami pertumbuhan, misalnya Serpong.
Nyatanya, hanya 1% area di Serpong yang bisa dibeli millenial. Pasalnya harga properti di sana lebih tinggi. Serpong merupakan kawasan yang nyaman ditinggali dibandingkan Jakarta. Orang berbondong-bondong ke sana.
Ketika millenial sudah visit ke lokasi dan developer dirasa bagus, mereka enggan. Penyebabnya, kondisi area tidak sebaik yang mereka bayangkan. Dahulu Serpong tak ubahnya tempat jin buang anak. Saat ini kondisinya jauh berbeda. Oleh karena itu millenial harus berpikir ke depan. Jangan beli sesuatu yang terlihat bagus.