Kaligrafi China harus mengandung tiga unsur yang diibaratkan tulang, daging, dan jiwa. Dibutuhkan kemampuan dalam memahami tulisan, keindahan, dan makna dari setiap goresan yang dibuat.
Kaligrafi umumnya diidentikkan dengan kaligrafi Arab, merupakan bagian dari seni rupa yang berkembang di negara-negara yang umumnya memiliki warisan budaya Islam. Dengan kata lain, kaligrafi adalah ekspresi seni dalam budaya Islam. Bentuk artistiknya didasari huruf atau abjad Arab yang dipandang merupakan alat utama untuk melestarikan dan menyebarluaskan Al-Qur'an. China memiliki 56 suku bangsa, 10 diantaranya memeluk agama Islam. Kaligrafi Muslim China menggunakan huruf Arab dengan gaya Tiongkok yang disebut khat ash-shini.
Panglima besar Islam, Saad bin Abi Waqqash bersama sahabat lainnya pada tahun 616 M membawa Islam ke Cina. Ia pernah menetap di Guangzhou dan mendirikan Masjid Huaisheng yang menjadi salah satu tonggak sejarah Islam paling berharga di China. Biasanya masyarakat muslim yang datang ke manapun selalu mengajarkan kaligrafi.
Namun saat tiba di China, mereka mengadakan kompromi dengan masyarakat China yang telah mempunyai kebudayaan tinggi. Bentuknya adalah pertukaran budaya dengan mengadopsi beberapa unsur huruf China dengan unsur huruf Arab. Sejak 3000 tahun lalu tulisan China telah mempengaruhi pengembangan banyak gaya tulisan kaligrafi yang ditandai dengan orisinalitas dan kekayaan tulisan China. Hal itu memungkinkan terbukanya ekspresi artistik yang sangat luas.
Ketua Lembaga Kaligrafi Al-Qur'an (LEMKA), Drs. H. Didin Sirojuddin menjelaskan, 70 tahun setelah kaligrafi berkembang muncul 400 gaya, salah satunya adalah khat ash-shini. Keindahan hakiki dari kaligrafi bukanlah fisiknya, melainkan pesan yang terkandung, seperti keluarga sakinah, akhlak, dan lain-lain. "Betapa Islam sangat menghormati keindahan. Rumah belum lengkap rasanya jika belum ada kaligrafi," tutur Didin yang aktif mengembangkan kaligrafi di tanah air.
Abu Bakar Chang yang khusus datang dari Ning Xia, China ke Jakarta untuk pertama kalinya ingin memperkenalkan seni kaligrafi China di Indonesia yang merupakan negara Islam terbesar di dunia. Ia berasal dari suku Hui yang merupakan salah satu suku terbesar pemeluk agama Islam di China. Abu Bakar dilahirkan dalam keluarga Muslim pada tahun 1978. Kakek dan buyutnya merupakan imam. Ia pernah menggelar pameran di China serta negara lain seperti Dubai dan Tokyo melalui ajakan pemerintah China.
Sejak usia 13 tahun Abu bakar belajar kaligrafi di masjid. Fasilitas belajar kaligrafi di masjid sebenarnya belum memadai. Gurunya hanya memberi contoh di buku kemudian diikuti oleh Abu Bakar. "Bagi saya, kaligrafi adalah pegangan hidup. Ketika mengalami kesulitan, saya menjadikan kaligrafi sebagai media introspeksi sehingga saya enjoy," tutur Abu Bakar.
Abu Bakar menjelaskan, awal pengerjaan kaligrafi adalah brainstorming atau mengumpulkan ide selama dua hingga tiga hari. Selanjutnya ia menulis kaligrafi dalam tempo satu hari. Setelah itu Abu Bakar membayangkan kaligrafi yang ingin diwujudkannya dan ia memberikan variasi supaya lebih indah. "Setiap ada ide baru atau tidak puas, saya ubah atau buat dari nol karena koreksinya sulit. Dalam setiap karya ada proses upgrade, bisa terjadi beberapa kali perubahan," ujar Abu Bakar.
Dalam pembuatan kaligrafi, Abu Bakar mengaku memperoleh inspirasi dari semua hal yang dilihatnya. Salah satu variasi dari karya yang dipamerkan adalah penempatan kaligrafi dalam badan vas. Kaligrafi itu dikombinasikan dengan lukisan tradional China melalui keberadaan bunga peony (the king of flower) yang mewakili keindahan dan kemakmuran. "Bersama seorang teman, kami bekerja dalam satu tim. Selain bentuk vas, kaligrafi juga bisa diterapkan pada berbagai benda seperti pot, gedung, binatang, hingga manusia," ujar Abu Bakar.
Abu Bakar menjelaskan, salah satu ciri khas kaligrafi Islam China adalah dominasi warna hitam dan putih. Ciri tersebut berhubungan dengan filosofi China yaitu yin dan yang. Hitam melambangkan malam hari, sementara putih melambangkan siang hari. Masyarakat dilarang menggunakan warna lain di luar hitam dan putih. "Hanya kaisar yang berhak menggunakan warna lain," tutur Abu Bakar.
Dalam pandangan Didin, masyarakat China Muslim telah melahirkan satu gaya kaligrafi yang merupakan nilai plus. Berbeda dengan Indonesia yang tidak melahirkan satu corak khas. Indonesia hanya memiliki gaya khas individual yang dikuasai oleh masing-masing kaligrafer dan banyak ragamnya. "Berbeda dengan China. Setiap pelukis mampu membuat gayanya sendiri dengan kriteria dan hukum yang bisa diikuti oleh siapapun," kata Didin.
Pasar Kaligrafi
Didin menilai 85% kejuaraan kaligrafi baik di dalam maupun di luar negeri dimenangkan oleh orang Indonesia. Namun keikutsertaan orang Indonesia dalam kejuaraan tersebut atas inisiatif pribadi tanpa bantuan pemerintah. Ada kesadaran dari masing-masing individu untuk mengembangkan diri. Salah satu tujuan kaligrafi adalah sumber usaha. Konkritnya adalah masuknya kaligrafi ke pasar. "Hendaknya Allah memperelok kaligrafi karena ia adalah sumber rejeki," kata Didin yang mulai mengenal kaligrafi pada usia 13 tahun.