Lihat ke Halaman Asli

Ignasia Kijm

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Peralatan Elektronik dari Electronic City, Partner Terbaik dalam Mengabadikan Kenangan Berwisata

Diperbarui: 10 Desember 2016   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tenun aneka warna. Foto: dokpri

Selama ini masyarakat hanya mengenal Lombok sebatas pada Gili Trawangan, Pantai Senggigi, atau Gunung Rinjani. Ternyata masih banyak objek wisata di Lombok yang tak kalah menariknya.

The world is a book, and those who do not travel read only a page. Quote yang ditulis Saint Augustine tersebut rasanya tepat menggambarkan euforia yang saya alami saat menjejakkan kaki di Lombok pada Februari lalu. Travelling adalah kesempatan untuk mempelajari banyak hal, seperti kehidupan  masyarakat setempat. Selain itu membuat saya  semakin mengenal diri sendiri.

Bandara Internasional Lombok  yang terletak di Praya, Lombok Tengah menyambut kedatangan saya  dan seorang kawan setelah menempuh perjalanan selama dua jam dari Jakarta.   Di hari pertama ini kami akan menuju Gili Nanggu. Namun sebelumnya kami memuaskan rasa lapar dan dahaga dengan mencicipi Nasi Balap Puyung. Kuliner khas Lombok ini terdiri dari nasi, tumis buncis, suwir ayam pedas, suwir ayam kering, dan ayam goreng. Rasa gurih dan pedas bercampur menjadi satu. Puyung sendiri adalah nama desa di Lombok Tengah.

Butuh waktu sekitar 1,5 jam menuju Pelabuhan Tawun. Selama perjalanan kami disuguhi pemandangan sawah di kiri dan kanan jalan serta  sekumpulan kerbau yang memamah rumput. Masih banyak masyarakat  Lombok yang bertani. Terutama Lombok Tengah yang merupakan wilayah paling subur.

Pelabuhan Tawun, akses penyeberangan menuju Gili Nanggu. Foto: dokpri

Setibanya di Pelabuhan Tawun, sebelum menyeberang kami menyewa peralatan  snorkeling dengan tarif Rp 90 ribu. Dalam tempo 15 menit menggunakan perahu motor, kami   menjejakkan kaki di Gili Nanggu. Waktu menunjukkan pukul 13.30 WITA. Kami segera berganti pakaian.  Birunya air laut menggoda kami untuk menceburkan diri. Walaupun panas matahari membakar kulit, sejuknya air  membuat kami ingin berlama-lama di dalamnya.

Satu botol sobekan roti untuk menarik sekawanan ikan agar datang mendekat telah disiapkan guide. Dengan demikian memudahkan kami untuk melihat langsung ikan-ikan kecil aneka warna tersebut. Ketika tangan kami hendak menyentuh kulitnya yang selembut sutra, ikan-ikan itu lari menjauh. Butuh usaha ekstra rupanya. Tenang saja sobekan roti cukup banyak. Masih banyak kesempatan untuk bercanda kembali dengan ikan-ikan menggemaskan itu.

Lelah bergerak di dalam air, kami merebahkan badan di pasir lembut berwarna coklat muda yang tak ubahnya kasur. Kenikmatan itu semakin bertambah saat melihat birunya awan yang berpadu dengan rimbunnya pepohonan di seberang pulau. Kesempatan itu tak kami sia-siakan. Kamera segera diarahkan mendokumentasikan nuansa alam yang tak dijumpai di kota besar. Saat kami berada di Gili Nanggu, hanya beberapa orang yang terlihat snorkeling atau berteduh di saung di tepi pantai. Sementara itu penginapan dan restoran tampak sepi.

Pulau Pribadi

Dibandingkan Gili Trawangan, gili-gili yang lain belum populer di masyarakat. Sarana yang ada pun tak seperti di Gili Trawangan yang dikelola investor asing. Hal itu nyata kami lihat saat mengunjungi Gili Kondo esok harinya. Kami menempuh perjalanan selama tiga jam menuju Sambelia, Lombok Timur. Guide kami telah menyediakan snack mengingat di Gili Kondo hanya ada warung kecil yang menyediakan makanan dengan variasi terbatas.

Penyeberangan menuju Gili Kondo dari Sambelia hanya memakan waktu 15 menit. Di tengah perjalanan perahu motor berhenti. Ternyata tidak hanya kami, ada dua perahu motor lainnya yang melakukan hal yang sama. Berbekal peralatan snorkeling, kawan saya  ditemani guide menceburkan diri ke lautan yang berair tenang. Mata mereka dimanjakan oleh barisan koral. Namun harus ekstra hati-hati. Jika tidak, kulit akan terluka terkena bulu babi dan terumbu karang yang tajam.

Gili Kondo, bagai pulau pribadi. Foto: dokpri

Sesampainya kami di Gili Kondo, pemandangan pertama yang menyambut kami adalah  pohon-pohon yang mengering dengan rumput yang tak lagi hijau. Saung yang ada tak sebanyak di Gili Nanggu. Luas Gili Kondo pun  tak sebesar Gili Nanggu. Hanya ada satu keluarga yang tinggal di Gili Kondo. Mereka biasanya menitipkan air bersih, makanan, dan kebutuhan lainnya di  perahu motor yang mengantarkan wisatawan. Rumah kecil sederhana yang sekaligus berfungsi sebagai warung itu juga digunakan oleh wisatawan untuk bertukar pakaian.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline