Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah). -Soekarno, pidato HUT RI 17 Agustus 1966-
Sutradara Usmar Ismail merupakan sosok penting dalam sejarah film Indonesia. Usmar, pelopor perfilman Indonesia juga adalah pendiri Perfini, studio film pertama di Indonesia pada awal 1950-an. Karya peraih gelar Bachelor of Arts jurusan perfilman dari Universitas Los Angeles itu, diantaranya Darah dan Doa serta film musikal Indonesia pertama, Tiga Dara.
Film Tiga Dara yang tayang perdana pada 24 Agustus 1957 di Capitol Theatre, Jakarta tersebut diproduksi menggunakan dana pemerintah sebesar Rp 2,5 juta. Film tersebut pernah bertahan selama delapan pekan di bioskop dan menjadi film terlaris pada masanya. Selain itu berhasil meraih penghargaan pada Festival Film Indonesia (FFI) 1960 untuk Tata Musik Terbaik oleh Sjaiful Bachri. Istimewanya alat-alat yang digunakan dalam produksi film Tiga Dara adalah alat second di luar Indonesia yang tidak dipakai kemudian dibeli Perfini. Alat yang sederhana tersebut mampu menghasilkan suatu karya yang maksimal dengan shooting selama dua bulan.
FFI yang digelar November mendatang mengusung tema restorasi. Tema tersebut dinilai mampu membangkitkan perfilman Indonesia dengan mengangkat kejayaan film-film Indonesia pada masa lalu. Film Tiga Dara menjadi film Indonesia pertama yang direstorasi. Film dengan teknologi 4K tersebut dirilis pada 11 Agustus 2016. Film tersebut ditayangkan di 25 bioskop di seluruh Indonesia, terdiri dari 20 bioskop grup XXI, tiga bioskop CGV Blitz, dan dua bioskop grup Cinemaxx. Film Indonesia lainnya yang direstorasi adalah Lewat Djam Malam yang diproduksi tahun 1954. Diputar ulang tahun 2012 dengan biaya sepenuhnya oleh pemerintah Singapura.
Saya berkesempatan menonton film Tiga Dara di XXI TIM. Film Tiga Dara mengisahkan tiga perempuan bersaudara, Nunung (diperankan Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya), dan Nenny (Indriati Iskak). Masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Nunung yang berusia 29 tahun sepeninggal sang ibu harus piawai mengurus rumah tangga serta dua adik, ayah (Hassan Sanusi) yang sibuk bekerja, dan nenek (Fifi Young). Sifatnya yang cenderung ketus terhadap lawan jenis sungguh berbeda dengan Nana.
Nana adalah perempuan yang supel dan mudah bergaul dengan pria. Ia kerap menghabiskan malam minggu dengan berdansa dan mengikuti acara anak muda. Nana sendiri telah memiliki seorang kekasih bernama Herman (Bambang Irawan). Sementara Nenny yang masih bersekolah adalah sosok yang periang, banyak akal, dan menjadi penengah dua kakaknya.
Sang nenek resah karena Nunung tak kunjung mendapatkan jodoh. Sampai suatu hari, Nunung tak sengaja ditabrak skuter yang dikendarai Toto (Rendra Karno). Nunung yang kesal bersikeras pulang ke rumah menggunakan becak. Toto yang sejak pandangan pertama jatuh hati pada Nunung mengikutinya dari belakang. Diam-diam Nana menaruh hati pada Toto. Ia memutuskan hubungan dengan Herman. Selanjutnya Herman dan Nenny menjadi dekat.
Singkat cerita, ayah meminta Nunung beristirahat di Bandung. Nenny dan ayah bersekongkol membuat skenario bahwa seolah-olah Nunung telah memperoleh tambatan hati. Toto murka. Sesampainya di Bandung, Toto mengungkapkan cintanya kepada Nunung dengan sebelumnya memutuskan Nana. Nana pun kembali bersama Herman.
Aura Lawas
Saya yang lahir di era 1980-an tercengang menyaksikan kondisi tahun 1956 di film Tiga Dara. Serasa menonton film yang baru dibuat padahal film itu sudah berumur 60 tahun. Selama menikmati film Tiga Dara saya seakan terlempar memasuki masa enam dekade silam. Film tersebut memberi gambaran kepada saya mengenai pergaulan di masa itu, pengaruh orangtua (dalam hal ini nenek) yang luar biasa besar dalam kehidupan anak dan cucu, anak yang harus menuruti perkataan orangtua, gaya busana, tata rambut, hingga hubungan pria dan wanita. Bagaimana generasi masa kini melihat Jalan Panglima Polim tahun 1956 yang menjadi lokasi shooting itu masih sepi. Belum seramai dan sepadat sekarang.
Banyak hal yang bisa dipelajari dari film Tiga Dara yang penuh nuansa drama, lagu, dan tari. Perihal anak pertama yang harus bertanggung jawab mengelola keluarga. Bagaimana sang nenek, ayah, dan dua adiknya amat bergantung kepada Nunung. Selepas ia bertolak ke Bandung, kehidupan menjadi kacau. Tak ada yang memasak, menyiapkan kapur sirih nenek, hingga menyiapkan teh untuk ayah. Sementara dua adik selama ini jarang bersentuhan dengan pekerjaan domestik.