BOSA JOGYA: KOLABORASI GURU DAN ORANG TUA, MELEJITKAN POTENSI ANAK
Hampir 500 orang tua (ayah dan ibu) putra putri siswa kelas X SMA BOPKRI Satu (BOSA Jogya) berkumpul di aula untuk belajar parent as a coach. Kegiatan ini berlangsung setiap semester dan satu-satunya sekolah di Indonesia yang mewajibkan orang tua (ayah dan ibu) hadir bentuk tanggung jawab mereka sebagai orang tua. Kolaborasi ini ingin berbagi peran antara orang tua dengan pendidik (sekolah). Peran orang tua yaitu MEMUTUSKAN rantai warisan yang buruk dan MENCIPTAKAN model yang baik agar anak memiliki KARAKTER yang diharapkan. Sedangkan peran guru yaitu sebagai partner MEMBERDAYAKAN pikiran anak, agar POTENSI-nya maksimal.
Kebanyakan peran sekolah berbeda atau tidak selaras dengan kebutuhan di lapangan pekerjaan, karena pendidikan kita tidak mengajarkan tentang uang dan kesuksesan. Pendidikan kita sekadar menghasilkan karyawaan yang patuh. Dalam proses pembelajaran yang seringkali terjadi melarang anak mencontek, anak harus bekerja mandiri, tidak boleh membuatkan kesalahan karena ujungnya punishman, melakukan apa yang diperintah, dan setiap soal hanya ada satu jawaban.
Sedangkan di dunia kerja, orang wajib meniru dan kemudian memodifikasi, orang boleh melakukan kesalahan supaya menemukan produk, layanan dan cara yang terbaik, karyawan tidak bisa bekerja sendiri namun harus melakukan kolaborasi agar terjadi inovasi. Dalam pekerjaan, karyawan harus menemukan berbagai jalan keluar (solusi) dalam berbagai tantangan. Tidak mudah buat guru berperan sebagai pendidik dan coach agar sekolah sejak dini terintegrasi cara berpikir dengan dunia kerja.
Perjuangan yang cerdas sejak tiga tahun yang lalu, Sartana (kepala sekolah BOSA) memperlengkapi guru-gurunya dengan teknik coaching (Teacher as a Coach) membangun pola pikir mereka yang growth mindset, menerapkan pola komunikasi yang bertumpu pada presence, active listening, powerful questioning dan think fast, talk smart ala stanford university. Mengembangkan pola merdeka berpikir dengan belajar design thinking teknik lateral thinking untuk melakukan inovasi sekolah antara lain model marketing sekolah. Melibatkan para orang tua (relationship building) untuk mendidik anak se-pola (model) yang diterapkan di sekolah, yaitu parent as a coach.
Parent as a Coach mengajarkan pola mengasuh anak tanpa 4M 1) Memarahi membuat anak kehilangan daya nalar, teori constraint mengatakan: ketika orang tua memarahi seorang anak, maka saat itu orang tua sedang mendemonstrasikan atau mempertontonkan ketidakberdayaan dirinya di depan anak. Anak tidak minta dilahirkan, orang tua sengaja meminta Tuhan untuk mendapatkan kepercayaan mengasuh anak, namun kenyataannya mereka belum siap, tidak berdaya. 2) Melarang membuat anak tidak berani bereksplorasi, bertindak dan berpendapat.
Ada 2 kemungkinan yaitu anak tidak mau memberdayakan diri, pasrah diam, namun suatu ketika ada kesempatan justru ia akan mencari apa yang dilarangnya (teori the forbidden fruit). 3) Memerintah membuat anak tidak bertumbuh daya inisiatif dari dalam dirinya. (Theory X), sulit untuk kreatif dan menemukan solusi dalam hidupnya, karena merasa hidupnya sudah ada yang mengatur. 4) Menasihati membuat anak tidak memiliki daya juang, berpikir dan berinovasi. (Transactional Analysis-Ego state). Menjadikan anak patah arang dan kepekaan terhadap kemampuan active listening menjadi hilang (Buku Teacher as a Coach -- Dr. Pramudianto, PCC)
Sekolah BOSA telah bekerjasam dengan Adelaide International School (AIS) memberikan kesempatan peserta didik sebagian waktu studi di BOSA dan AIS (double degree) dan lulusannya bisa mendaftar di perguruan tinggi seluruh dunia. Program ini mempermudah lulusan BOSA kuliah di luar negeri, dan memberi siswa kesempatan memiliki jalur cepat menuju perguruan tinggi di luar negeri tanpa foundation. Sehingga lebih hemat waktu dan biaya.
Selain itu bekerjasama dengan beberapa sekolah atau universitas di Inggris dan Korea Selatan. Banyak orang tua mengapresiasi atas pola yang dilakukan sekolah BOSA karena menumbuhkan pemahaman yang benar terhadap anak. Bahkan ada yang mengusulkan agar anak diberi pelatihan bagaimana mampu memahami perannya sebagai anak, sehingga terjadi pertemuan kepentingan yang akan menjadi titik pijak berkolaborasi di sekolah dan di rumah.
Ketika saya bertanya, ibu bapak berjuang dan bekerja keras untuk siapa sebenarnya? Semua menjawab untuk anak! Itulah ketidakpahaman orang tua dan menempatkan anak-anak seolah-olah menjadi penting dan prioritas. Padahal itu hanya kamuflase dalam pikiran kita saja, atas ketidakberdayaan kita memahami kebutuhan anak. Kita berjuang dan bekerja keras untuk diri sendiri.