Lihat ke Halaman Asli

Citra Melati

Guru bahasa inggris dan pemerhati pendidikan dan sosial.

Kesetaraan Gender: Perempuan=Tenaga Gratis?

Diperbarui: 11 Desember 2024   10:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : www.freepik.com

Jika suatu Negara masih penuh dengan korupsi dan ketimpangan, tidak bisa mensejahterakan rakyatnya maka mustahil membicarakan kesetaraan. Kesetaraan datang dari Negara yang adil dan makmur bagi rakyatnya. Jika perempuan sudah berada pada taraf kesejahteraan ekonomi secara adil dan merata, kesehatan fisik dan mental yang baik, dilibatkan secara politik dan sosial tanpa memandang kelas sosial, baru dapat memunculkan kesetaraan. Mustahil mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan jika masih dalam keadaan kondisi ekonomi lemah pada laki-laki dan perempuan. Kesetaraan yang tercapai dalam persaingan ekonomi antara laki-laki dan perempuan nyatanya hanya terjadi pada kaum kelas atas saja.

Secara historis dan struktural ketidaksetaraan dilakukan oleh dominasi laki-laki yang menguasai kepemilikan lahan, alat mesin produksi, dan uang. Timbulnya ketidaksetaraan juga bisa datang dari perempuan sebagai pemimpin yang mendukung patriarki dan kapitalisme. Semisal, perempuan yang memegang kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat miskin, meski perempuan bukan berarti berpihak pada kebutuhan perempuan kelas bawah. Dan lagi, perempuan yang bersuami penindas kaum miskin juga bisa mendukung suami dalam menguasai kekayaan lahan demi profit dan perluasan kekayaannya yang semakin memiskinkan kaum lain yang ditindasnya. Kesetaraan secara historis bukan pada jenis kelamin saja tapi persoalan kelas.

Keluarga dalam sebuah lembaga perkawinan, perempuan diidentikan sebagai perawat keluarga, yang merawat suami dan anak. Padahal, justru tradisi seperti ini malah menjatuhkan derajat perempuan karena alih-alih merawat keluarga justru perempuan ketika menjadi ibu dan istri malah bisa menjadi kelelahan dan stres karena tuntutan tradisi yang menuntut perempuan menjadi ibu yang baik bagi anaknya dan istri yang baik bagi suaminya. Istilah ibu dan istri baik adalah ilusi yang disandangkan pada perempuan akan menjadi perempuan sempurna ketika menjalani ibu dan istri yang baik. Ibu dan istri diperuntukkan performanya sebagai pelayan bagi suami dan anaknya. Media iklan menggambarkan ibu dan istri yang baik yang sedang menyiapkan makan bagi suami dan anak-anak menjadi bagian edukasi bagaimana idealnya seorang ibu dan istri. Tradisi yang bersifat turun temurun, budaya sosial yang membentuk bahwa perempuan idealnya harus seperti yang digambarkan oleh tatanan sosial. Namun tidak melihat ketimpangan yang terjadi antara tuntutan perempuan ideal dan hak perempuan ketika menjadi istri dan ibu dalam sebuah lembaga perkawinan. Padahal menjadi ibu dan istri adalah sebuah naluri alamiah bukan dibentuk.

Data menunjukkan ibu depresi hingga bunuh diri karena kelelahan atau baby blues mengurus bayi tanpa adanya peran kerjasama suami dan support keluarga, ibu membunuh anak dan dirinya sendiri karena faktor ekonomi, dan lain sebagainya. Adakah kebijakan dari negara untuk memfasilitasi, membantu biaya persalinan ibu, ada jaminan kesehatan mental dan fisik ketika menjadi ibu? Serta layanan penitipan anak ketika ibu ingin mengembangkan diri, adakah kebijakan yang pro pada kebutuhan perempuan apalagi ketika perempuan tertindas? Bagaimana perempuan memandang itu semua sebagai kodrat saja tetapi tidak ada perlindungan baginya? Perempuan mempunyai rahim yang akan melahirkan manusia baru yang hanya sebagai mesin jika ujungnya pengabaian pada jiwa dan fisiknya ketika mengandung, melahirkan insan manusia, belum lagi perjalanan panjang dalam mendidik, merawat anak apalagi konstruksi sosial mendesak perempuan melayani anak dan suami. Setelah itu apa nilai mulia perempuan jika pengorbanan dan perjuangannya sebagai ibu dan istri tidak ada penghargaan tetapi pengabaian akan haknya sebagai manusia?

Banyak perempuan ketika menjadi ibu dan istri sebenarnya tertindas namun tak terungkapkan bahkan tak mau mengakui bahwa mereka tertindas secara psikologis, dan ketertindasan ini sudah mendarah daging dalam sebuah sistem konstruksi sosial sehingga menjadi hal yang lumrah untuk diterima secara pasrah daripada menentangnya. Ada ibu yang berakhir gila karena dicampakkan suami dan anak-anaknya padahal selama hidupnya mengabdi pada suami dan anak-anaknya, ibu yang membunuh anak kandungnya sendiri karena depresi, ibu yang hanya bisa menggumam tidak tahu apa yang menindasnya akibatnya merugikan diri sendiri dan orang lain yang tak bersalah  jadi korbannya, dan lain sebagainya. Secara universal, perempuan hanya disimbolkan sebagai perawat dan reproduksi saja dalam sebuah keluarga secara eksklusif dan individual daripada peran kontribusi di dalam masyarakat secara inklusif.

Peran perawat utama bukanlah pada perempuan saja tapi laki-laki juga. Laki-laki seharusnya didorong bahwa laki-laki punya peran yang sama dalam merawat dalam sebuah keluarga. Suami dan istri bekerja sama bukan dibebankan pada istri saja. Memang perempuan punya naluri merawat atau bersifat kebijaksanaan, tapi dalam sistem perempuan dibatasi pada segi kerumahtanggaan yaitu dapur, sumur dan kasur. Meski di era modern ini, perempuan yang kelas borjuis pun masih dalam ranah masak, macak dan manak. Dalam tugas kerumahtanggaan seperti memasak, mencuci dan lain sebagainya di berbagai konten media sosial malah dirayakan oleh kaum borjuis dan ditiru oleh kaum ekonomi bawah yang semakin menindas pada perempuan. Kaum borjuis yang kaya bisa melakukan itu karena mereka kaya, punya fasilitas atau pembantu. Meski ada perempuan yang kaya yang mengidamkan ibu dan istri yang melayani semuanya tanpa pembantu ternyata berakhir kelelahan dengan banyaknya pekerjaan dan banyak anak apalagi dengan perempuan dengan ekonomi lemah. Selain perempuan tereksploitasi peran konservatif yang menindas di rumah. Perempuan berkarir juga dieksploitasi oleh pekerjaan karirnya, sehingga peran perempuan mengalami beban ganda.

Perempuan bisa mencapai peran keduanya sebagai ibu dan berkontribusi ke masyarakat ketika perempuan sudah merebut haknya sebagai pribadi yang mandiri secara finansial dengan disertai keluarga yang suportif sebagai hak para perempuan, sehingga hak atau privileges pada perempuan bisa mengangkat martabat perempuan itu sendiri dan perempuan lain bahkan pada laki-laki juga. Namun sistem keluarga dibentuk berdasarkan individual, privat yaitu menjadi keluarga inti seperti sekarang. Prinsip keluarga inti secara historis berasal dari sistem keluarga borjuis atas dasar privatisasi kepemilikan lahan berdasarkan garis keturunan keluarga. Pada sistem komunal, istri bisa bekerja, dengan dibantu keluarga dari paman, bibi, nenek dan kerabat lainnya. Ibu bisa berperan di luar rumah sehingga tidak terlalu disibukkan dengan urusan anak dan rumah tangga karena supportive system dari keluarga. Sehingga perempuan punya peran sosial karena ada yang saling membantu dan menjaga tapi yang terjadi sekarang, urusan apa yang terjadi dalam sebuah keluarga adalah hal yang privat dalam bentukan keluarga inti. Namun di zaman modern ini bagaimana jika kondisi keluarga dengan ekonomi miskin ataupun menengah dan atas, ketika perempuan melakukannya sendirian. Perempuan mengalami penindasan sebagai istri dan ibu yang punya variasi dan level yang berbeda.

Untuk menjalankan peran perempuan dalam masyarakat, perempuan harus disejahterakan dulu. Perempuan harus difasilitasi dan dibantu baru kemudian dia bisa berpikir dan berkontribusi. Jika perannya bersifat menindas, haknya diambil, perempuan yang dalam ekonomi lemah, buta akan pendidikan dimana pendidikan juga mahal dan bersifat kapitalis, perempuan menjadi tidak bisa berpikir apalagi ikut berkontribusi dalam masyarakat. Perempuan tak didorong untuk punya kesempatan berkontribusi pada masyarakat tapi disubordinasi yang bersifat kerumahtanggaan, perempuan dibentuk pada tugas kerumahtanggaan daripada perannya dalam masyarakat politik ekonomi dan sosial. Selain itu, peran kontribusi perempuan hanya dilihat sebatas ketika perempuan bekerja dan berprestasi yang menguntungkan kepentingan sebuah lembaga, pemerintah atau perusahaan bukan berkontribusi pada sistem kebijakan tatanan sosial yang adil dan merata. 

Bagaimana perempuan bisa terbuka dalam sebuah masyarakat jika perempuan dibentuk untuk tunduk pada keluarga yang dipersempit dalam kerumahtanggaan tanpa bayaran yang membuat perempuan bisa saja sakit, dimana pekerjaan konservatif kerumahtanggaan tak melibatkan daya pikir yang sesungguhnya tapi ke arah fisik yang repetitif dan monoton tanpa gaji. Perempuan ketika berkeluarga cenderung hanya mengandalkan ekonomi secara tunggal pada suami, padahal perempuan juga punya kekuatan tapi dilemahkan oleh tradisi feminitas seperti ini. Mana mungkin perempuan dapat berpartisipasi bertanggung jawab di luar kalau dia sendiri tertindas secara ekonomi, pendidikan tertindas kemiskinan dan kebodohan karena hanya dihadapkan pada tugas kerumahtanggaan dan keibuan tanpa bayaran, perempuan dikondisikan mengerjakannya secara sukarela, tanpa prinsip yang jelas. Perempuan bahkan tidak dilihat sebagai manusia yang punya akal budi dan pikiran hanya sebagai pelayan dan perawat tanpa bayaran. Perempuan ketika menjadi ibu dan istri pekerjaan konservatifnya dianggap sebagai kodrat dan menjadi tugasnya tanpa mempertanyakan tugas tersebut hanya menjalaninya saja sebagai perintah dalam tatanan sosial, agama dan budaya. Perempuan mengerjakannya secara sukarela tanpa melihat hak alamiah manusia, menganggap apa yang dikerjakan sebagai hal yang gratis dan alami padahal itu bukan alami tapi sengaja dibentuk, dibuat dan dilestarikan diamini oleh norma sosial, budaya dan agama yang semakin menurunkan derajat perempuan. 

Narasi peran perawat pada perempuan pada sebuah keluarga seharusnya digaji sama seperti tenaga kerja yang bekerja pada umumnya. Adalah hak perempuan sebagai manusia yang bekerja dengan tenaga, pikiran dan jiwa untuk keluarga. Peran perempuan dalam keluarga tak punya nilai uang dalam sistem ekonomi, kecuali perempuan menjadi tenaga kerja di tenaga pemerintah atau perusahaan. Peran dari perempuan mulai mempersiapkan kesehatan suami, melayani dia di kala lelah, mendidik anak, menyuapi makan anak, merawat anak sakit, membersihkan rumah, memasak, dan tugas kerumahtanggaan lainnya yang tidak mudah dianggap kodrat namun tak ada penghargaan dan nilai uang dalam sebuah tatanan negara dan kapitalisme, peran tradisional perempuan di keluarga dianggap tidak bekerja sehingga perempuan ketika melakukan itu semua tidak ada nilai historisnya bagi perempuan, hanya memandang perempuan dan keluarga nya sebagai objek tenaga kerja nantinya. Pekerjaan konservatif kerumahtanggaan dijadikan sebagai ilusi pekerjaan mulia demi surga dan pengorbanan yang bersifat ikhlas tanpa gaji. Bukankah memuliakan nya adalah dengan mengapresiasi apa yang dilakukannya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline