Lihat ke Halaman Asli

Anna Saraswati

@wellnesslifeindonesia

"Sepatu" Mbah Minah Bikin Hakim Menangis

Diperbarui: 13 Juni 2023   00:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo @Annaversary Journal

Ada yang menarik ketika sesi perkuliahan daring ilmu hukum membahas tentang Positivisme Hukum dan membedah kasus Nenek Minah, yang terjerat pasal 362 KUHP. Unsur-unsur pidana terpenuhi, setelah alat bukti dan saksi dihadirkan, dan Nenek Minah selaku Terdakwa juga telah dimintai keterangan. Hakim menjatuhkan vonis 1 bulan 15 hari dengan suara bergetar menahan tangis. Mengapa?

Well, fine, hakim juga manusia, tapi hukum harus ditegakkan. Lalu pertanyaannya, hukum itu untuk manusia, atau manusia untuk hukum? 

Dengan menggunakan analogi kaki dan sepatu, dosen FH UAI bertanya, jika sepatu sudah tidak cocok lagi dengan kaki kita, maka yang harus diganti itu sepatunya atau kaki kita yang harus dikikir? 

Pertanyaan ini sepintas terdengar lucu, tapi jika berpikir dengan logika,tentu kita tahu jawabannya.

Nenek Minah yang didakwa mencuri, dengan tertatih-tatih bolak menghadiri persidangan. Sementara nilao nominal 3 kakao yang dicurinya itu tak lebih dari Rp 3000 per butir, dan biaya proses persidangan lebih besar dari total nilai kerugian korban (perusahaan perkebunan tempat Nenek Aminah bekerja). 

Namun hukum tetap harus ditegakkan agar menimbulkan efek jera. Tapi muncul lagi pertanyaan, apakah ini adil? 

Tujuan hukum adalah memberikan memberikan rasa keadilan, menciptakan kepastian dan memberikan kemanfaatan. Kasus Nenek Minah yang menyedot perhatian publik, LBH dan juga LSM ini diproses karena hukum pidana di Indonesia menganut prinsip Aliran Positivisme Hukum, yang secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. 

Artinya, penegak hukum melimpahkan kasus ke ranah judicial, karena ada undang-undang yang mengaturnya, bukan menempuh langkah-langkah pendekatan kemanusiaan, atau untuk memenuhi rasa keadialn masyarakat.

Dalam kasus ini, hakim memiliki rasa welas asih sehingga menunjukkan sisi kemanusiaan, ketika di saat yangs ama harus menegakkan hukum.

Dengan demikian untuk ke depannya, demi menjaga konsistensi putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) maka putusan juga harus sama untuk kasus serupa, jika ada atau terjadi di tempat berbeda dalam kurun waktu yang berbeda.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline