Di balik setiap tumpukan sampah, ada cerita yang menanti untuk diceritakan - tentang alam, tentang manusia, dan tentang pilihan kita. Sampah bukanlah akhir, tapi awal dari petualangan baru.
Sampah memang selalu jadi hal klasik untuk dibahas, terutama sisi pengelolaannya. Jika diperlakukan dengan hati-hati, sampah seakan-akan barang bekas yang tidak bernilai.
Sejenak, bayangkan sebuah tumpukan sampah yang menjulang, seolah-olah membangkitkan pertanyaan: bagaimana jika kita membakarnya saja?
Apakah itu jawaban cemerlang atau malah memicu dampak ekologi yang tak terhindarkan? Tentunya ada dua dimensi yang harus kita telaah akan hal ini.
Dimensi pertama yang terhampar di mata kita adalah dimensi positif. Aktivitas pembakaran sampah bisa menjadi solusi pengolahan sampah yang efektif.
Mengubah tumpukan sampah menjadi abu, mengurangi volume sampah hingga 90 persen, sebuah angka yang luar biasa! Tak hanya itu, proses ini juga bisa menghasilkan energi.
Di negara-negara seperti Swedia dan Jerman, pembakaran sampah digunakan sebagai sumber energi alternatif. Pembangkit listrik tenaga sampah telah menjadi hal yang lumrah, dan menjadikan negara-negara ini sebagai contoh dalam pengelolaan sampah.
Namun, di balik guratan senyum yang ditawarkan oleh dimensi positif ini, terselip dimensi lain yang mengernyitkan dahi.
Pembakaran sampah memang bisa mengurangi volume, namun juga memicu ledakan polutan ke udara kita. Partikulat, dioxin dan furan, gas rumah kaca, logam berat, serta gas nitrogen oksida dan sulfur oksida dilepaskan, menyusup ke udara yang kita hirup, dan menari-nari di atmosfer, mengganggu keseimbangan alam.
Apa efeknya bagi ekosistem dan kesehatan manusia? Oh, itu adalah sebuah cerita "horror klasik" yang dengan episode tak berujung bak sinetron 'Tersanjung'.