Lihat ke Halaman Asli

Kembali ke Rote

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebentar. Mmm…, mari kita lompat agak ke timur. Ke antara Pulau Ndana dan Timor. Namun kali ini sedikit beda pada moda transportasinya. Sepeda! Yuk, kita populerkan juga wisata Indonesia dengan menikmatinya dari atas sepeda. Ada cita rasa petualangan, keringat yang mencucur turun dari kening, duduk di atas jok, tangan erat pada stang. Dan, hey! Lihat ke tepian. Kita sudah bersisian dengan pantai dan batu Termanu.

Mereka pasangan adanya. Yang satu menjulang menusuk langit, menguak dari tanah Rote ini. Sementara yang dianggap sebagai mempelai wanitanya, ada di seberang dekat, dipisahkan laut yang tidak seberapa jaraknya. Tapi untuk mendeskripsikannya lebih lanjut, aku ogah. Biar saja benakmu yang mengenangnya sendiri jika kamu pernah melepaskan pandang ke ujung tinggi batunya, atau ke biru luas lautnya. Bagi kamu yang belum, harapku akan, teman.

Lalu Laut Mati di Sotimori menarik kenangan untuk maju. Dan untuk mengikuti maunya, aku harus mundur ke beberapa hari kemarin saat kami baru tiba di Pelabuhan Pantai Baru.

Siang itu cerah. Terdengar kicau segerombol burung di pucuk-pucuk mangrove bagai jadi tim penyalam kedatangan feri yang baru masuk dan membelah muara. Tidak ada keterangan burung apa gerangan. Kusangka bangau, hanya karena bulu putihnya.  Mereka kemudian lari vertikal, dan sisa pandanganku dicuri langit biru yang bersih. Aduhai sambutannya.

Kami melenggang di atas sepeda dan menjauh dari Pantai Baru. “Selamat Datang di Bumi Ti’i Langga Permai”. Kamu, juga akan melihat tulisan di atas gapura itu pada awal penjamahan di Nusa Lontar, julukan lain ranah ini. Tak ada bangunan tinggi, tak ada tiang jemuran tinggi. Hanya perbukitan di kanan kiri. Pepohonan tumbuh menyelimuti semua badan bukit. Jalanan yang meliuk melipiri tubuhnya, naik turun, berkelok-kelok halus, itulah aspal Rote yang membimbing hingga pertigaan, percabangan ke barat dan ke timur.

Ban sepeda kami menjilati timur lebih dulu. Ke daerah yang bukan destinasi favoritnya para turis. Tapi siapa sangka justru di sana ada suguhan lain, warna lain pesona Rote. Dari busa-busa yang konon berkumpul di tepian danau tiap pagi pada musim tertentu, meronanya surya dari selurusan danau yang lalu bangun ke cakrawala, ikan air tawar yang tinggal di air berkadar garam, ketidak-masuk-akalannya pasir putih menghuni danau, hingga kesempurnaan bagi yang cinta kesunyian, semuanya lengkap di sana. Laut Mati. Danau air asin di Rote.

Namun satu hal yang tidak ada di dekat Laut Mati adalah kemudahan akses. Aspalnya sudah habis jauh-jauh jarak sebelum telapak menyentuh danau. Banyak-banyak bertanya pada masyarakatnya yang ramah adalah tips yang jitu selain menggandeng pemandu. Karena ponsel akan kehausan sinyal di sana. Jadi, jangan berharap lebih pada Google Maps.

Di pagi berikutnya Anto sudah keluar tenda dan menunggu matahari. Kamera lekat pada tangannya. Ia jongkok merapati tepian saat cahaya menggeliat di seberang danau. Kemudian ia berdiri dan bergeser menjauhi danau. Ke belakang sepeda dan tenda, ia berdiri diam mengambil bingkai lalu bidikannya berkedip, jepret! Aku suka gambar tangkapan Anto meski siluetnya tidak semulus SLR.

***

Potret keindahan negeri sudah dikantongi. Makna wisata sudah ada. Dan pesona, adalah saat mata, hidung, telinga, lidah, kulit, dan hati, mau menikmati, menghargai dan mensyukuri keunikan karya Ilahi.

Mari menjelajah, mari sibak nusantara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline