Abdul Jalil di pintu perlintasan kereta Gang SMP di Jl. Raya Citayam, Kelurahan Ratu Jaya, Kecamatan Cipayung, Kota Depok, sedang diwawancarai Kompasianer Setyaningrum (kiri) dan Robiatul Adawiah, yang kini duduk di kelas VI, Sekolah Dasar (SD) Negeri Kalimulya 3, Depok, menunjukkan rapor bayangan sambil menggendong keponakannya. “Meskipun ia bukan anak pintar, tapi keinginannya untuk belajar, lebih tinggi dibandingkan kakak-kakaknya,” ujar Abdul Jalil, tentang anak bungsunya itu. (Foto: Koleksi Pribadi)
Bocah perempuan 12 tahun ini, tidak ingin putus sekolah, seperti keempat kakaknya. Karena itu, ia ikut ibunya, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, yang tinggal di rumah majikannya. Melalui cara ini, atmosfir belajar di rumah majikan ibunya, turut memotivasinya untuk terus belajar.
Itulah Robiatul Adawiah, yang kini duduk di kelas VI, Sekolah Dasar (SD) Negeri Kalimulya 3, Jl. Kencana I, Kebonduren, Kecamatan Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat. Rumah majikan sang ibu, dengan rumah mereka, sama-sama berada di kawasan Depok, hingga ibu-anak itu bisa pulang ke rumah sekali seminggu. Rumah mereka, berupa dua kontrakan kecil, sudah penuh sesak. Satu bagian, dihuni oleh kakak Robiatul Adawiah yang sudah menikah. Ada sang kakak, suaminya, dan tiga orang anak mereka di sana. Bagian lain, dihuni oleh dua kakak Robiatul Adawiah, yang keduanya sudah putus sekolah di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mereka sehari-hari ya bekerja secara serabutan. Ketika kami ke sana pada Sabtu (17/10/2015) siang, kakak yang satu sedang tertidur lelap, kakak yang lain sedang bersiap hendak berangkat. Oh, ya, kakak yang satunya lagi sudah berkeluarga dan tinggal di tempat lain, masih dalam kawasan Kota Depok.
Tanpa Institusi, Ikhlas Berbagi
Praktis, secara finansial, semua masih bergantung pada Abdul Jalil, sang ayah, dan Suminarsih, sang ibu. Abdul Jalil sehari-hari hanyalah seorang penjaga perlintasan kereta Gang SMP di Jl. Raya Citayam, Kelurahan Ratu Jaya, Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Dinamakan perlintasan Gang SMP, karena perlintasan kereta tersebut digunakan warga untuk melintas dari Jl. Raya Citayam menuju Gang SMP yang berada di sisi SMP Ratu Jaya dan SMK Teknindo Jaya di Ratujaya, Cipayung, Depok. Perlintasan ini cukup ramai, karena selain banyak anak sekolah, juga karena di sekitar kawasan tersebut padat dengan rumah penduduk.
Sebagai penjaga perlintasan, yang termasuk kategoriperlintasan liar, Abdul Jalil tentulah tidak memiliki ikatan apa-apa dengan institusi perkeretaapian, baik dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) maupun PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). Dengan institusi setingkat kelurahan atau desa pun, tidak ada ikatan. Meski demikian, Abdul Jalil merasa memiliki ikatan yang kuat dengan nyawa manusia, dengan keselamatan warga setempat. Karena ikatan itulah lelaki berusia 49 tahun itu, berdiri tegak sepanjang hari di perlintasan kereta itu.
Ia memodifikasi batang bambu, kemudian mengikatkan spanduk bekas di bambu tersebut, sebagai palang perlintasan. Dengan modifikasi tali yang bisa ditarik-ulur, maka Abdul Jalil bisa menutup dan membuka palang yang berada di dua arah perlintasan secara bersamaan. Untuk kegiatan tanpa ikatan institusi tersebut, sebagian warga yang melintas, ikhlas memberikan recehan kepadanya. Ada pula warga yang memberikan sepatu, celana, kaus, dan topi agar Abdul Jalil nampak resmi saat berdinas.
Meski tak menentu, ya dari menjaga perlintasan liar itulah Abdul Jalil menggantungkan sumber penghidupannya sekeluarga. Baginya, ini bukan pekerjaan tapi mencoba berbuat sesuatu untuk warga. ”Karena yang saya punya hanya tenaga, ya dengan tenaga inilah saya berbuat untuk warga,” ujar Abdul Jalil, pada Sabtu (17/10/2015) siang yang sangat terik di pinggir rel kereta. Warga pun urunan menggaji Abdul Jalil, yang kadangkala mencapai Rp 500.000 per bulan. Pengurus yayasan SMP Ratu Jaya kadang menyumbang sekitar 300.000 ribu per bulan. Pengurus SD Ratu Jaya, yang juga dekat dengan perlintasan itu, menyumbang 100.000 ribu per bulan. Praktis, per bulan Bang Jalil, sapaannya, mengantongi Rp 900.000. Kalau secara harian, ya tergantung keikhlasan warga yang lewat perlintasan.
Dengan modifikasi tali yang bisa ditarik-ulur, Abdul Jalil bisa menutup dan membuka palang yang berada di dua arah perlintasan, secara bersamaan. Di pintu perlintasan kereta Gang SMP di Jl. Raya Citayam, Kota Depok, inilah Abdul Jalil menggantungkan sumber penghidupannya (kiri). Kompasianer Setyaningrum dan Robiatul Adawiah menggendong keponakannya, di rumah mereka yang sekitar 30 menit jalan kaki dari tempat tugas sang ayah. (Foto: Koleksi Pribadi)
Spirit Seorang Ayah
Dengan tidak menentunya penghasilan, maka Abdul Jalil hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan empat anaknya terpaksa putus sekolah. Tapi, last but not least, untuk Robiatul Adawiah, ia tak ingin realitas pahit itu terulang. Ia sudah menyaksikan, betapa keempat anaknya yang putus sekolah itu, pontang-panting serta terbentur sana-sini, untuk sekadar mencari makan sehari-hari. Karena itu, Abdul Jalil tak ingin si bungsu Robiatul Adawiah, mengalami hal serupa. Karena itu pulalah, ia sepakat dengan istrinya, agar sang istri dan Robiatul Adawiah, tinggal di rumah majikannya dan pulang ke rumah sekali seminggu.