Lihat ke Halaman Asli

Catatan Tahun Pertama Raka

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_117077" align="alignleft" width="300" caption="Melihat Dunia"][/caption] Tiga hari lagi di tahun lalu, atau mungkin kurang dari itu? Aku tak persis tahu. Hanya ketika itu, Istriku menangis tersedu saat mengecup kening putriku Nesha. Bahagia, sedih dan khawatir, satu padu menghiba rasa haru. Bahagia kerana Raka kan datang, sedih mengingat Nesha teramat kecil untuk diduakan, dan khawatir karena harus kembali lagi ke meja operasi.

Masih dengan terisak, istriku melangkah dengan berat dan payah. Perutnya membuncit besar, dibungkus daster motif batik pemberian mertuaku. Ketersiksaan nampak jelas, saat aku memapah dan membantunya meletakkan pinggul di kursi belakang mobil. Kernyit dahi dan rintih pertanda sakit bagaikan panggilan iba bagi siapapun yang melihat. Jujur, sebenarnya saat itu aku tak tega. Hanya aku tidak boleh memperlihatkan itu padanya. Dia akan semakin gugup dan stress...

Beberapa menit berikutnya, roda bergerak dan membawa badan mobil pergi meninggalkan kediamanku. Sebuah mobil tua tahun 1974 bermerek Corola, berwarna hijau kusam dan rupa sangat berantakan. Usia mobil yang renta membuat di beberapa tempat catnya mengelupas. Namun bukanlah Bapak kalo nggak “pede”. Dengan santai dan tenang dia menginjak pedal gas. Tangannya masih terlihat lincah diusianya yang ke-63. Aku seharusnya yang mengendalikan mobil itu. Tapi Bapak bersikeras agar dia saja yang nyetir. Sementara aku, duduk di samping Bapak sambil terus melihat kearah spion, memeriksa keadaan istriku yang duduk di kursi belakang.

Selang setengah jam kemudian kami memasuki kota Malang. "RSIA Melati Husada" adalah tujuan kami. Bagi yang berdomisili di Kota Apel Malang, saya rasa cukup familier dengan rumah sakit tersebut. Beberapa orang bilang, RS itu adalah yang terbagus untuk melahirkan Anak. Beberapa yang lain mengatakan, ada yang lebih bagus darinya. Buat aku, RS tersebut memanglah bagus. Bukan karena apa-apa, melainkan lebih karena faktor ekonomi. Perusahaan tempatku bekerja merekomendasikan tempat itu sebagai tempat bersalin bagi karyawan dan keluarganya. Alhasil, akupun pasti kesana, selain gratis juga karena tempatnya yang bagus.

Bapak menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang RS tersebut. Beberapa bunyi-bunyian klakson sempat memerahkan telinga, maklum cara berhenti bapak, menutup siapapun yang hendak masuk. Tapi sekali lagi, bukanlah bapak kalo nggak cuek. Tetap dengan style nyantainya, bapak memarkir mobil ke tempat parkir yang sudah disediakan sesaat setelah aku dan istriku beranjak keluar.

Dari pintu gerbang, aku berjalan pelan sambil memapah istriku. Langkahnya yang berat membuat kami tidak bisa bergegas. Ada tiga buah anak lantai dari porselen yang harus kami lalui sebelum sampai ke beranda. Suasana saat itu ramai sekali. Seperti yang sebelumnya aku tulis, RSIA Melati Husada cukup terkenal di kota apel. Memasuki beranda, kami serasa kembali ke tempoe doeloe. Interior, pencahayaan, serta semerbak harum melati menjadi aroma terapi yang dahsyat. Istriku duduk di sebuah kursi yang terbuat dari kayu jati tua. Sedangkan aku bergegas ke petugas administrasi untuk melakukan registrasi. Setelah selesai, akupun duduk menemani istriku di ruang tamu.

***

Sembari menunggu, aku berbicara "ngalor-ngidul" untuk menghibur istriku. Wajahnya terlihat pucat. Rasa takut sangat tampak mencengkram. Bayangan meja operasi, dan berbaring di bawah lampu kuning besar sambil dikerumuni beberapa orang bercadar dan berpenutup kepala, membuatnya resah. Bisa dimaklumi karena satu setengah tahun sebelumnya, putri kami Nesha lahir dengan cara yang sama, "Operasi Cezar".

Wajahnya semakin gusar kala seorang bidan dengan beberapa alat menghampiri kami di ruang tamu. Periksa darah, periksa alergi, dan periksa tekanan menjadi syarat wajib sebelum operasi. Setelah bidan itu pergi, mata istriku berkaca-kaca.

"Aku takut mas...". Ucapnya lirih, sambil tangannya menyeka mata.

Saat itu aku hanya berkata "sabar..yank, semua pasti baik-baik saja".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline