Lihat ke Halaman Asli

Hukum dan Etika Media antara Perempuan, Difabel, dan Media

Diperbarui: 19 Mei 2020   12:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

screenshoot dari Tirto

Rara, nama samaran perempuan difabel yang menjadi korban pemerkosaan pada tahun 2016 silam. Rara juga menjadi korban Tirto.id atas pemberitaan kasusnya yang melanggar Kode Etik Jurnalistik.

Tirto.id, mengunggah berita mengenai kasus pemerkosaan remaja difabel berumur 13 Tahun yang terjadi di daerah Lumajang, Jawa Timur. Berita ini diunggah pada tanggal 14 April 2020, oleh Irwan Syamsudi dengan judul artikel "Biadabnya Pemerkosa Disabilitas di Bawah Umur. Pelaku DPO 3 Tahun" dalam kanal mereka yang berjudul hukum. Kasus yang pemerkosaan yang dialami oleh remaja difabel 13 Tahun ini terjadi pada tahun 2016, namun karena adanya halangan dalam jalur hukum, kasus ini jarang bahkan tidak pernah diliput oleh media hingga akhirnya diangkat oleh Tirto.id.

Kasus yang diangkat oleh Tirto.id ini berkaitan dengan topik "difabel dan media" dan juga  "Perempuan dan media" karena Rara, nama samaran korban pemerkosaan, seorang difabel dan juga seorang perempuan. Saya mengambil media Tirto.id karena hanya Tirto.id yang mengangkat kasus ini ke dalam media. 

Selain alasan hanya tirto.id yang meliput kasus ini, Tirto.id juga merupakan salah satu media yang terdaftar dan ter-verifikasi oleh dewan pers. Namun, saya juga tertarik oleh isi artikel yang diunggah oleh Tirto.id yang melanggar beberapa Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-undang nomor 40 tahun 1999 mengenai kebebasan pers.

Pada judul artikel, ditemukan beberapa kejanggalan, seperti penggunaan kata hiperbolis "biadab" dan penggunaan kata "disabilitas" untuk menggambarkan kondisi korban. Dalam artikel tersebut juga, ada deskripsi kronologi yang sangat gamblang yang ditulis oleh jurnalis. Kalimat seperti "Setelah sampai di kamar mandi, pelaku membuka baju [Rara]. Pelaku pada waktu itu tidak pakai celana, hanya pakai kaos. 

Di kamar mandi itu berbuat.", "Rara sempat berontak, tapi tenaganya tak sebanding dengan si tua bangka. Si brengsek Mardi melakukan itu sembari mengeluarkan kata-kata ancaman. Rara ketakutan dan hanya bisa menangis.", dan juga "Pelaku mengancam akan membunuh dan menggorok lehernya jika menceritakan peristiwa itu ke orang lain,". 

Penggambaran pada kalimat-kalimat tersebut termasuk cabul, lalu juga adanya pemilihan diksi seperti "Brengsek," "Tua Bangka" dan "Batang Hidung" yang merupakan kata-kata hiperbolis dan kata-kata ancaman yang terkesan sadis. 

Penggunaan diksi-diksi yang hiperbolis, sadis dan cabul, menunjukkan adanya pelanggaran Kode Etik Jurnalistik pasal 4, yang berbunyi "Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul."

Selain pasal 4, dalam pemberitaan ini juga melanggar pasal 5 yang mengatakan menyebutkan "Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan." Penyebutan identitas korban tidak secara gamblang, namun dalam bentuk deskripsi secara mendetail mengenai penggambaran fisik korban dan pekerjaan sehari-orang tua. 

Penggambaran identitas korban dapat dilihat dalam kalimat, "Saat itu ia masih berusia 13. Rambutnya panjang, tingginya kira-kira 150 centimeter. Rara gadis yang penurut, ia suka menggambar dan gemar tahu goreng." dan juga "Rara adalah anak pertama dari dua bersaudara. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline