Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Mengerikan Mencabut Gigi

Diperbarui: 4 April 2017   16:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1295745472123865573

daripada sakit hati lebih baik sakit gigi ini biar tak mengapa

Entah Mengapa Meggy Z bisa bernyanyi seperti lirik diatas, mungkin dia tidak pernah merasakan sakit gigi atau saya yang belum pernah merasakan sakit hati karena cinta. Pastinya jika menurut Megy Z labih sakit jika sakit hati daripada sakit gigi, maka saya tidak mau sakit hati karena sakit gigi saja sudah sangat menyakitkan bagi saya. Mendengar lagu itu jadi teringat masa-masa SD. yang kala itu selama kurang lebih seminggu selalu terbangun tengah malam karena sakit gigi pada gigi graham yang sudah bolong. Tengah malampun jadi penuh tetesan air mata kesakitan. Rasa nyenut-nyenut dan seperti ada yang menusuk dengan jarum memang terasa sangat menyakitkan. Tapi, saya sadar sakit gigi itu datangnya dari diri saya sendiri yang waktu kecil memang malas menggosok gigi. Padahal orang tua sudah membelikan sikat gigi yang lucu yang berbentuk hewan dan pasta gigi yang rasanya beraneka ragam buah. Tapi perasaan tidak enak selalu menghampiri saat menggososk gigi, seperti ada rasa tertentu yang tertinggal dimulut yang membuat ingin muntah setelah menggosok gigi. Jadinya, waktu kecil jarang sekali gosok gigi. Setelah menjadi remaja seperti sekarang barulah menyesal karena sewaktu kecil jarang gosok gigi. Gigi graham yang dulu sakit berubah menjadi bolong yang sangat besar dan menimbulkan infeksi. Memang tidak terasa sakit tapi cukup mengganggu karena muncul daging ditengah gigi graham yang kadang-kadang berdarah. Melihat gigi saya yang seperti itu maka saya mencoba untuk menanggulanginya. Awalnya, saya mencoba memeriksakan ke puskesmas terdekat dan kata dokternya giginya sudah infeksi sehingga harus dicabut. Sebelum dicabut saya diberikan obat-obatan untuk diminum selama tiga hari. Setelah tiga hari meminum obatnya saya kembali kepuskesmas untuk mencabut gigi tapi karena hari itu hari sabtu yang hanya menerima 10 pasien sedangkan saya datang agak siang sehingga tidak memperoleh karcis. Walaupun saya sudah bilang ke penjaga kasirnya bahwa saya memang harus mencabut gigi hari ini tapi penjaga kasir yang sudah nenek-nenek itu tetap saja tidak memberikan izin. Sehingga saya balik lagi kerumah. Beberapa minggu kemudian saya kembali ke puskesmas dan dilayani oleh dokter yang berbeda dan dokter itu terlihat masih muda. Setelah memeriksa gigi saya dokter itu berkata gigi saya sudah hancur sehingga harus dibersihkan kedalam gusinya dan dipuskesmas ini tidak punya alat untuk proses mencabut masalah gigi seperti ini. Dalam hati saya, padahal dokter yang sebelumnya bilang cuma infeksi dan bisa dicabut disini tapi saya yakin dokter yang terlihat masih muda ini memang sepertinya tidak mau mencabut gigi ini, mungkin karena  dia masih baru jadi dokter. Ya sudah saya tidak mau berbelit-belit dengan masalah puskesmas itu. Sehingga tiga hari kemudian saya mengajak ayah saya untuk pergi keklinik khusus gigi dikawasan kunciran, Pinang. Saat diperiksa Dokternya berkata bahwa gigi saya sudah infeksi jadi harus dicabut dan saya diberi obat untuk diminum selama tiga hari sebelum proses pencabutan gigi.

Nah, ini dia pengalaman saya mencabut gigi

[caption id="attachment_86638" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi (sumber :hakiembunitas.blogspot.com)"][/caption] Setelah meminum obat selama 3 hari saya datang lagi keklinik itu. Hari itu banyak pasien yang datang sehingga saya harus menunggu hingga 1 jam. Setelah menunggu, nama saya dipanggil dan didalam ruangan dokter segera memeriksa gigi saya. Setelah itu mulailah dokter dibantu asistennya mulai mencabut gigi saya. Pertama, dokter itu beberapa kali menyuntik gusi disekitar gigi graham saya. Saat disuntik terasa agak sakit dan terasa pahit karena ada beberapa tetes suntikan yang tak sengaja menetes kemulut. Setelah disuntik mulailah proses pencabutan. Mulut dibuka lebar, gigi saya dicoba untuk ditarik dengan alat khusus. Lalu dicongkel-congkel dengan alat yang tidak saya ketahui namanya. Ditarik lagi dengan alat seperti tang dan proses-proses tadi terus dilakukan berulamg-ulang. Sesekali saat darah keluar saya disusruh berkumur-kumur dan proses pencabutan dilanjutkan lagi. Prosesnya sama seperti tadi, terus dicongkel, ditarik dan seterusnya. Rasanya ngilu dan walaupun sudah pakai obat bius tapi rasa sakit tetap saja ada. Berkali-kali dokter berkata t"santai saja" tapi rasa sakit itu tetap tidak hilang. Kaki sayapun bergerak-gerak dan tangan ini rasanya ingin menghentikan gerakan tangan dokter itu. Sedangkan ayah saya yang menemani saya diruang operasi ini memilih keluar karena tidak tahan melihat proses pencabutan gigi ini. Setelah sekitar 15 menit menahan rasa sakit, akhirnya gigi itu tercabut. Syukurnya, saat gigi tercabut tidak terasa apa-apa. Terlihat gigi saya yang tercabut diangkat dokter itu memiliki akar yang panjang dan dalamnya masih utuh. Lalu saya teringat perkataan dokter puskesmas itu yang bilang gigi saya sudah hancur dan harus dibersihkan hingga dalam ternyata hanyalah bualan belaka. Buktinya gusi saya tidak perlu dibersihkan hingga dalam dan bagian bawah gigi saya tidak hancur. Setelah proses pencabutan yang melelahkan itu dokter menyatakan bahwa gigi saya itu sangat kuat sehingga sulit untuk dicabut. Setelah itu diberikan resep obat untuk diambil dikasir dan memperingati saya agar tidak berkumur-kumur serta memakan makanan yang panas. Tidak lupa juga untuk tetap terus menggigit kapas sampai satu jam. Pulang kerumah dengan selamat dan saat itu sudah maghrib. Dirumah, keluarga menanyakan bagaimana proses pencabutannya. Saya hanya menyeritakan sedikit saja karena mulut ini malas bergerak. Saat malam saya meminum obat-obatan yang diberikan dokter lalu kemudian tidur.

Saat terjadi pendarahan ditengah malam

Tengah malam saya terbangun karena merasa seperti ada cairan yang memenuhi gigi saya. Saya melihat baju saya yang berwarna putih, sebagiannya sudah berubah menjadi seperti warna bendera Indonesia. Lalu saya turun kelantai bawah dan mengeluarkan cairan itu yang ternyata adalah darah. Semenjak itu selama semalaman gusi saya terus mengeluarkan darah sehingga saya tidak bisa tidur dan harus bolak-balik ke wastafel untuk membuang darah yang keluar dari gusi ini. Orang tua saya terbangun dan ayah saya menemani saya selama semalaman. Ibu saya shalat malam untuk mendoakan saya lalu menemani saya juga. Saya semalaman hanya bolak-balik kewastafel dan menonton tv, inilah malam terburuk yang pernah saya alami. Baiknya, pendarahan ini tidak menimbulkan rasa sakit sama sekali hanya membuat terlihat gusi agak bengkak dan seperti benang-benang merah keluar dari gusi bekas tempat gigi yang dicabut. Saat jam empat pagi saya mencoba untuk menyumpal gusi saya dengan kapas sehingga membuat saya bisa tidur selama 30 menit. Setelah 30 menit itu saya harus membuang kapas karena kapasnya sudah penuh dengan darah dan kembali tidur. Pagi harinya sekitar jam 8 pagi, saya kembali keklinik itu. Saat itu dokter yang bertugas sedang tidak masuk karena sakit tapi saat ayah bilang bahwa gusi saya mengalamai pendarahan, maka kasirnya langsung memanggil dokter lain. Dokternya masih sama seperti yang dulu mencabut gigi saya, saat itu dokternya terlihat baru selesai mandi dan tidak menggunakan pakaian dokter (mungkin karena bukan jam kerjanya dan terburu-buru). Dokter itu memeriksa gusi saya yang berdarah lalu membersihkan benang-benang merah yang keluar dari gusi. Gusi saya ditekan-tekan dengan kapas lalu saya disuruh menggigit kapas itu selama 15 menit. Setelah 15 menit gusi saya masih mengeluarkan darah, sehingga gusi saya kembali ditekan dengan kapas dan disuruh menggigit kapas lagi selama 15 menit. Tapi setelah 15 menit masih saja meneteskan darah. Akhirnya dokter itu mengambil langkah untuk menjahit gusi saya. Awalnya saya disuruh minum segelas air putih serta sebutir obat dan ditanya sudah makan apa belum, untungnya saya sudah makan. Gusi saya kembali disuntik beberapa kali. Saya tiduran dan melihat dokter sedang memasukan benang kealat jahit yang khusus untuk gusi. Saat itu saya sudah berfikiran pasti sangat sakit. Dokter mulai menjahit gusi saya, terasa seperti ada yang menusuk gusi saya tapi tidak terlalu sakit. Terasa juga saat benang itu diikatkan digusi saya. Sesekali saya mengambil nafas panjang menahan sakit. Dokter mencoba menenangkan saya dengan perkataan "tenang saja". Kurang lebih lima menit proses penjahitan selesai dan saya kembali diberi obat yang lebih bagus dari sebelumnya. Dokter itu menanyakan mengapa tadi malam tidak telepon dokter saja dan tidak menggigit kapas lagi saat pendarahan. Tiga atau lima hari kemudian saya kembali kedokter lagi untuk mengambil benang jahitan dari gusi saya ini, tapi karena pagi hari itu tidak ada jadwal dokter sehingga saya kembali sore harinya. Saat kembali keklinik pada sore hari terlihat banyak sekali pengunjung namun nama saya cepat dipanggil karena sudah didaftarkan sebelumnya oleh kasir yang baik itu. Pengambilan benang ternyata tidak terasa apa-apa dan hanya perlu waktu beberapa menit saja. Setealah selesai saya kembali diberikan obat untuk dihabiskan dan ada pula obat yang diminum jika sakit dan pendarahan. Untung saja dokter yang melayani saya selama diklinik ini baik dan cekatan. Untuk proses penjahitan dan pengambilan benang tidak dikenakan biaya dokter, hanya biaya obat saja. Untuk pencabutan juga cukup murah sekitar Rp. 70.000 dibandingkan dengan klinik dekat rumah saya yang memasang harga untuk pencabutan saja paling murah Rp. 150.000. Untuk keseluruhan pencabutan gigi ini menghabiskan sekitar Rp. 190.000, pertama biaya memeriksa dan membeli obat habis Ro. 70.000, kedua untuk biaya pencabutan dan obat sebesar Rp. 90.000, ketiga untuk membeli obat lagi habis Rp. 15.000 dan terakhir lagi untuk membeli obat saja sebesar Rp. 15.000.

Pekerjaan tertunda karena cabut gigi

Sedangkan disekolah beredar rumor selama saya tidak masuk sekolah bahwa saya memasang kawat gigi. Sehingga saat saya masuk sekolah teman-teman saya ingin melihat gigi saya yang katanya saya memasang kawat gigi. Huh, lagipula siapa yang menyebarkan fitnah ini, sehingga saya harus mengklarifikasi bahwa saya hanya mencabut gigi. Teman-teman saya mendengar cerita saya mencabut gigi dan mereka merasa takut untuk mencabut gigi. Pelajaran disekolahpun jadi terbengkalai dan saya meninggalkan satu kali ulangan harian biologi. Berhari-hari setela obat yang disuruh dihabiskan telah habis, gusi saya terlihat semakin baik. Tidak terjadi pendarahan lagi dan tidak terasa sakit sehingga saya tidak perlu kembali kedokter lagi. Pengalaman mencabut gigi inipun menjadi pembelajaran bagi saya. Bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati. Andai saja jika dari kecil saya sudah mencegah bolongnya gigi, pasti saya tidak akan merasakan sakit pencabutan gigi serta tidak kehilangan satu gigi graham saya. Untungnya gigi graham yang berfungsi sebagai pengunyah masih ada tiga dibawah dan empat diatas sehingga saya masih bisa mengunyah. Selain itu masih ada gigi yang belum tumbuh yaitu, dua gigi graham bawah dan dua gigi graham atas. Semoga pengalaman ini dapat diambil hikmahnya bagi kita semua. Yuk, kita rajin merawat gigi dan menggosok gigi. Ingat!! gigi orang dewasa setelah copot tidak akan bisa tumbuh lagi. Jadi bagi yang dewasa, itulah gigi anda yang akan menemani sampai tua nanti. Jangan disisa-siakan ya,,,,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline