Lihat ke Halaman Asli

Dhio Tjia

Belajar

Standar Ganda Politik Gerindra dan PKS

Diperbarui: 20 November 2018   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Claudio Cahya

Sejak dua tahun terahir Indonesia telah di ramaikan dengan pesta demokrasi yang berbeda dari sebelumnya. Pesta yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan program di framing menjadi analogi perang seakan akan demokrasi Indonesia sejaman dengan zaman kenabian , Narasi narasi seperti ini di kembangkan dan di anjurkan secara tidak langsung oleh elit elit politik dari koalisi Gerindra dan PKS serta di mobilisasi oleh kader akar rumput dari koalisi partai tersebut.

Sejarah mencatat framing framing seperti ini digunakan negara negara yang pernah menghasilkan diktator seperti Hitler dan Musollini . Di Indonesia pada masanya pasca kejadian G30S. Menghasilkan diktator seorang Jenderal Soeharto sebagai hasil framing antara Islam melawan kelompok kiri ( Nasionalis, Komunis ,Sosialis ) yang hingga saat ini kita tahu sejarah 1965 adalah sejarah yang sengaja di hilangkan kebenarannya oleh sebagian yang Pro Orba.

Standar Ganda dalam politik di asumsikan politik dua kebijakan dalam menangani satu perkara. Misal Pada Tahun 2016 kita di hebohkan dengan kasus dugaan penistaan agama oleh mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Dalam kasus tersebut saya menyoroti mengenai durasi video yang di potong dan proses propaganda via Whatsapp Group. Potongan video tidak mencerminkan substansi apa yang di bicarakan .

Seperti misalnya dalam Kasus Habib Rizieq Shihab dalam beberapa video , secara terang terangan Habib Rizieq menyatakan dalam satu contoh kalo Yesus adalah anak Tuhan bidannya siapa ? Ini adalah salah satu bentuk penistaan agama. Atau pada pernyataan Rocky Gerung yang menyatakan kitab suci itu fiksi.  

Atau pada kasus pembakaran bendera hitam Tauhid di Garut oleh banser . Dengan galak Front Pembela Islam (FPI) menyerukan pengibaran bendera Tauhid di seluruh negri namun ketika bendera hitam Tauhid berkibar di depan rumah Habib Rizieq di Arab Saudi dan Pihak berwenang Arab Saudi menahan HRS, Di Indonesia di buat framing baru bahwa ini operasi intelijen. Sebuah pernyataan absurd dari kelompok ini . Dan logika kita akhirnya berfikir bahwa Elit FPI lain di mulut lain di perbuatan.

Pada kasus seperti ini Gerindra dan Oposisi lainnya hanya terdiam dan melakukan framing bahwa pemerintah Joko Widodo adalah pemerintahan yang anti Islam dan Mengkriminalisasi Agamawan . 

Dalam kacamata hukum warga negara itu sama di depan hukum. 

Standar Ganda dan Framing politik seperti inilah yang harus di perangi karena merusak mental publik . Publik harus tahu bahwa keadilan itu tidak mengenal keturunan siapa , agamanya apa dan kekayaannya berapa? 

Dan Partai Gerindra dan PKS ikut bertanggung jawab atas hilangnya nalar publik di konstituen mereka khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pada Tahun 2019 ini adalah moment politik terakhir Prabowo Subianto seperti pernyataan Politisi PDIP Adian Napitupulu. Dengan semangat itulah koalisi Gerindra menyerang membabi buta tanpa program. 

Demokrasi dapat mengantarkan sosok seperti Hitler kepanggung kekuasaan , Maka dari itu sebagai warga negara kita wajib menyebarkan edukasi politik positif dan ini tanggung jawab semua kader parpol.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline