Beberapa minggu lalu sering tampil status teman-teman Indonesia di media sosial yang membahas soal kelangkaan minyak goreng. Saking penasaran, saya pun bertanya ke mama di Jakarta dengan situasi ini.
Mama menjawab santai bahwa fenomena ini tidak berefek buat kesehariannya di rumah. Kalau memang minyak goreng menghilang dari pasaran, artinya tidak perlu memikirkan menu gorengan.
Maka akhir-akhir ini mama sibuk dengan aneka pepes, tim, kukus, rebus, bakar dan lalapan, termasuk acar atau sambal segar.
Dulu waktu mudik, saya pernah membawakan wajan pemanggang yang terbuat dari besi tuang. Lumayan berat, jadi mama jarang sekali pakai benda ini. Karena harus memikirkan alternatif masakan tanpa minyak, akhirnya wajan ini keluar juga dari lemari.
Mulai dari daging, ikan, tempe dan tahu sampai sayuran seperti terong, labu dan bawang bombay, semuanya dipanggang.
Kata mama, beberapa wajan teflon juga menjadi andalan untuk menumis memakai minyak seirit mungkin atau margarin sebagai pengganti minyak.
Sambil berkelakar, mama bilang kalau kepepet ingin menggoreng kerupuk dan emping, mungkin pakai pasir sebagai media untuk menggoreng seperti zaman baheula.
Saya sendiri di sini jarang memasak yang pakai acara goreng menggoreng. Sesekali kalau kangen bakwan jagung atau suami minta digorengkan ikan, barulah saya membeli minyak goreng.
Biasanya sekalian menggoreng kentang untuk temani ikan sarden goreng tepung kesukaan dia. Jadi gorengan babak pertama setengah botol untuk kentang, sisanya barulah untuk ikan atau bakwan.
Seringkali saya memasak kentang di oven, sekalian panggang bersama daging atau ikan ukuran besar seperti orata atau branzino masak al forno con patate (dioven bersama kentang atau Spigola al forno su letto di patate) yang sangat praktis dan hemat bahan bakar.