Malam saat bulan membulat indah. Tiada bintang, hanya satu bulan penuh. Purnama, kata orang. Kadang ia tertutup awan pekat berarak, lalu tampak menghilang. Berkat kilau bulan, kulihat puncak-puncak bukit di sekeliling lembah ini. Aku ingin ke salah satu puncaknya, kataku seketika. Kau balas dengan senyuman. Kau tarik tanganku, membawaku berjalan menelusuri setapak jalan di antara petak-petak kebun teh. Tak mungkin secepat ini. Tak mungkin malam ini. Tapi, kau hanya bilang, tiada yang tak mungkin. Dan, kau terus berjalan, aku mengikutimu walau sedikt berat pendakian ini. Kadang kau berlari kecil dengan genggamanmu yang tak lepas dari tanganku. Jari-jemari kita bertaut, layaknya hati kita yang semakin erat terikat.
Di puncak bukit ini. Di hamparan rumput lembab. Beratapkan langit malam. Bersandarkan batang pinus yang tinggi menjulang. Semakin dekat rasanya bulan itu. Semakin dekat juga hati kita. Kau tak banyak bicara. Kau hanya banyak senyum. Kau perlihatkan pada semesta kau sedang berbahagia. Sama bahagianya denganku. Aku, kamu, bahagia. Kita sepasang manusia yang memadu kasih di malam pertama.
"Jangan pernah lupakan malam ini!" pintamu. Jelas tak akan kulupakan malam indah ini.
"Kita tidak pernah tahu dan tak akan pernah tahu malam seperti apa yang akan kita jalani bersama di depan. Kita hanya bisa berharap akan selalu ada malam-malam indah seperti ini. Namun, ketakutan akan malam buruk yang mungkin saja terjadi tentu kita rasakan juga. Masa depan adalah misteri. We never know about it. Berharap yang terbaik, bersiap untuk yang terburuk. Dan selagi kita bersama, kita akan bisa melaluinya. Sekarang, biar kita nikmati saja malam ini."
Tak pernah kau sebut dirimu aku. Kita. Ya, aku suka dengan kata kita. Hanya kita. Kau selalu bisa membuatku makin menyukaimu. Kita dalam cinta. Kita. Hanya kita.
"Kita untuk malam ini, dan malam seterusnya..." ucapku yakin. Kau tersenyum lagi.
Inilah malam pertama kita, sayang. Semakin kita larut dalam keindahan malam ini. Kita nikmati bersama. Cinta kita bukan cinta biasa. Malam pertama kita pun bukan malam pertama biasa. Ranjang bertabur mawar putih di kamar pengantin tak kita jejaki. Kita hanya di sini, merasakan syahdunya detik-detik pergeseran bulan ke timur. Sampai kita lihat bersama fajar mulai menyingsing. Matahari terbit. Kita beranjak. Menuruni bukit seiring matahari menanjak naik. Saatnya kita pulang. Ke rumah KITA.
Jakarta, 14 Februari 2010
Cinta untuk kita semua. Salam cinta kompasianers...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H