Lihat ke Halaman Asli

Perang Batin, Logika Vs. Perasaan #2

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hatiku menganga. Mengundang masuk sesuatu yang lalu merasuk menusuk. Entah apa yang terasa. Apa ini? Lebih dari sakit pusing kepala yang sudah sering menggangguku. Bukan juga sakit perut akibat asam lambung yang meningkat. Sakit yang abstrak. Mulutku pun menganga. Menahan hasrat berteriak hingga sakit tenggorokan. Sakit. Lagi-lagi sakit. Dan lagi-lagi inilah yang terjadi, perang batin antara logika vs perasaan. Menimbulkan sakit yang namanya tidak mungkin terdaftar dalam nama-nama penyakit medis. Sakit pun, rumah sakit mana yang sanggup merawatnya?

Aku adalah seorang pemimpi sejati. Maka ketika aku berharap akan sesuatu, entah mendapat keyakinan dari mana, setiap harapan itu harus bisa aku dapat. Di sinilah logika aku tanggalkan. Kemudian perasaanku bermain, memeras hati ketika teruji antara harapan dan kenyataan terbentang jarak yang jauh. Sayang, aku bukan pemain perasaan, namun perasaan yang memainkanku. Dan segenap keyakinan yang terdahulu menguatkan, kini lenyap tak bergeming. Sakitlah aku!

Persoalan ketidakpastian yang aku pikirkan akhir-akhir ini, ternyata telah berhasil mempermainkan hatiku. Aku mengatakan, sulit bagiku untuk menunggu suatu hal dalam ketidakpastian. Perasaanku terus menghujamiku dengan kata-kata itu. Aku berharap, dan aku menunggu dia datang. Tapi tetap dalam ketidakpastian yang pasti. Lalu perasaan mengajakku bermain dengan sambutan kata-kata dari sang logika yang menjelaskan bahwa: Di dunia ini, segala sesuatu tidak ada yang pasti. Yang paling pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Crap! Aku terjebak dalam saling silang saling adu yang makin membunuh senyawa hatiku. Tolong! Bawa aku keluar dari keadaan yang tersumbat peluru perang dua kubu ini. Bawa aku ke tempat yang lebih nyaman. Keep me quite to keep waiting for you. And I don't want to make you worry. Egoisnya aku. Perasaanku berontak minta pengertian. Dan lebih egoisnya aku, karena aku menyalahkan perasaanku yang sudah rapuh. Maka aku semakin rapuh.

Aku limbung. Mengertilah.

Aku sedang tidak ingin berdebat.

Aku butuh kepastian.

Aku butuh keyakinan.

I need you always beside me. Bahkan aku ingin lebih dari yang bisa aku ucapkan.

Yakinkan aku bahwa aku akan mendapat kepastian.

Meskipun aku telah sepenuhnya yakin dan pasti tidak akan salah karena memutuskan telah memilihmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline