Lihat ke Halaman Asli

Kearifan Lokal Suku Tengger yang Masih Dilestarikan dalam Upaya Glokalisasi

Diperbarui: 30 Juni 2024   12:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 WartaBromo

Kearifan lokal merupakan bagian dari sebuah tradisi-tradisi budaya masyarakat pada suatu bangsa. Oleh sebab itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda juga. Gunung Bromo merupakan objek wisata yang berada di Provinsi Jawa Timur dan merupakan salah satu objek yang memiliki panorama alam yang indah. Panorama alam yang indah menyebabkan daya tarik untuk menarik wisatawan baik wisatawan yang berasal dari dalam negeri maupun wisatawan yang berasal dari luar negeri.

Menurut Eko Budiharjo (2012), Glokalisasi dijelaskan sebagai "globalization with local flavour". Glokalisasi merupakan efek dari globalisasi dimana sebagai bentuk gerakan lokalisasi terhadap budaya asing yang masuk melalui penyesuaian dengan budaya lokal.

Kehidupan masyarakat Suku Tengger didominasi oleh kegiatan pariwisata, oleh sebab itu kegiatan tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial mereka. Adanya kegiatan pariwisata tentunya memberi peluang untuk menjadi peluang untuk menjadi lebih dikenal masyarakat luar daerah.

A. YADNYA KASADA

Upacara Yadnya Kasada atau Hari raya besar Suku Tengger Umat Hindu di Kawasan Bromo Tengger Semeru yang disebut Kasada. Kasada merupakan sebuah upacara persembahan atau sesajen untuk Sang Hyang Widhi dan para leluhur yang digelar setiap Bulan Kasada hari-14 dalam penanggalan kalender tradisional Hindu Tengger. Upacara adat ini digelar di Pura Luhur Poten, tepat di kaki Gunung Bromo, pada tengah malam hingga dini hari.

Upacara adat suku Tengger ini bertujuan untuk mengangkat dukun atau tabib yang ada di desa sekitaran Gunung Bromo. Dalam festival ini suku Tengger akan melemparkan sesajen berupa sayuran, ayam, dan bahkan uang ke kawah Gunung Bromo. Upacara besar Yadnya Kasada atau Kasodo akan diadakan pada bulan Agustus - September pada bulan purnama.

B. ADAT ENTAS-ENTAS

Bagi warga Tengger, kematian tanpa ritual entas-entas adalah proses yang tak tuntas. Upacara yang dipercaya jadi jalan penghormatan tertinggi terhadap leluhur ini digelar seribu hari usai kematian, atau minimal 44 hari usai kematian. Entas-entas lebih kaya dengan tahapan dan simbol. Leluhur yang diwakili satu Petra, atau makna di balik Entas-entas yang berarti mengangkat atau mengembalikan kembali unsur-unsur penyusun tubuh manusia, yatu tanah, kayu, api, dan air.

Entas-entas biasanya digelar dengan tahapan khusus. Seperti anggota keluarga yang mengisi kulak atau bumbung yang terbuat dari bambu dengan beras. Keluarga yang berkumpul di bawah kain putih panjang dibentangkan oleh dukun setempat, hingga prosesi atma atau roh yang dientas.

C. CERITA RAKYAT KERAJAAN MAJAPAHIT

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline