Dalam beberapa dekade terakhir, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah menjadi pilar utama perekonomian Indonesia (Riska Amalia dkk., 2023). Dengan jumlah yang mencapai lebih dari 64 juta unit usaha dan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sektor ini memegang peranan vital dalam menciptakan lapangan kerja serta menggerakkan roda ekonomi di tingkat lokal maupun nasional (Panjaitan dkk., 2024). Meski demikian, pelaku UMKM kerap menghadapi berbagai tantangan, mulai dari keterbatasan modal, akses pasar, hingga beban pajak yang dirasa memberatkan. Untuk itu, pemerintah berupaya memberikan solusi melalui kebijakan pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Final, sebuah langkah yang dirancang untuk mendorong pertumbuhan sektor UMKM sekaligus meningkatkan daya saing mereka di tengah kompetisi global (Marlinah, 2020).
Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk mendukung sektor UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional (Ginting & Setiawati, 2024). Salah satu bentuk dukungan nyata tersebut adalah kebijakan pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi pelaku UMKM (Wardana, 2021). Langkah ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan usaha, meningkatkan daya saing, serta memperkuat kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Kebijakan Pengurangan PPh Final
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018, UMKM dikenakan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari omzet bruto (Hartadi dkk., 2019). Kebijakan ini menggantikan aturan sebelumnya yang menetapkan tarif sebesar 1%. Tujuan utama dari pengurangan ini adalah untuk memberikan kelonggaran finansial bagi pelaku usaha sehingga mereka dapat lebih fokus mengembangkan bisnis tanpa terbebani pajak yang tinggi. Tarif PPh Final 0,5% berlaku bagi wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar per tahun (Pramudita & Okfitasari, 2024) dan Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, CV, firma, atau PT dengan omzet yang sama (Hasanah, 2018).
Manfaat Pengurangan PPh Final bagi UMKM
Kebijakan ini memberikan sejumlah manfaat nyata bagi pelaku UMKM, di antaranya meningkatkan Likuiditas Usaha dimana pengurangan tarif pajak memungkinkan pelaku usaha memiliki dana lebih untuk modal kerja, investasi, atau inovasi produk (Surjono, 2018), selanjutnya merupakan pengingkatan kepatuhan pajak. Dengan tarif yang lebih ringan, pelaku usaha cenderung lebih terdorong untuk memenuhi kewajiban perpajakan mereka secara tepat waktu (Seralurin dkk., 2023). Selain itu, dapat mendorong formalisasi usaha, kebijakan ini menjadi insentif bagi pelaku usaha informal untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, sehingga akses mereka terhadap fasilitas pemerintah, seperti pembiayaan dan pelatihan, menjadi lebih mudah (Saputro & Meivira, 2020).
Tantangan dalam Implementasi
Meski kebijakan ini memiliki manfaat yang besar, implementasinya di lapangan tidak lepas dari tantangan Tantangan ini merliputi kurangnya sosialisasi, tidak semua pelaku UMKM mengetahui atau memahami tata cara pembayaran PPh Final (Daulay, 2020). Lalu administrasi yang kompleks, beberapa pelaku usaha masih menganggap proses administrasi perpajakan rumit dan memakan waktu (Saputro & Meivira, 2020). Selain itu adanya ketidakpastian ekonomi, kondisi ekonomi global yang fluktuatif dapat memengaruhi kemampuan UMKM untuk memanfaatkan kebijakan ini secara optimal (Kartika, 2024).
Langkah Awal untuk Optimalisasi Kebijakan
Agar kebijakan pengurangan PPh Final ini dapat memberikan dampak maksimal, beberapa langkah yang perlu dilakukan. Sosialisasi yang intensif dapat menjadi salah satu rekomendasi, pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak, seperti asosiasi UMKM dan pemerintah daerah, untuk menyampaikan informasi terkait kebijakan ini secara masif dan mudah dipahami. Selain itu melakukan simplifikasi administrasi pajak yaitu penyederhanaan proses pelaporan dan pembayaran pajak dapat mendorong lebih banyak UMKM untuk patuh pajak. Seanjutnya adalah pendampingan UMKM pemerintah dapat menyediakan layanan konsultasi pajak secara gratis atau subsidi bagi UMKM untuk membantu mereka memahami kewajiban perpajakan. Dan yang terakhir ialah insentif tambahan, selain pengurangan tarif, insentif lain seperti pembebasan PPh pada tahun pertama usaha dapat menjadi dorongan tambahan bagi pelaku usaha baru.
Kesimpulan
Kebijakan pengurangan PPh Final memang meringankan beban pelaku UMKM, tetapi terlalu berfokus pada aspek fiskal. Dalam kondisi ini, sebenarnya tantangan utama UMKM di Indonesia bukan hanya pajak, tetapi juga akses terhadap permodalan, teknologi, pelatihan, dan pasar yang kompetitif. Pengurangan pajak tidak otomatis menjamin peningkatan daya saing UMKM di pasar global atau bahkan lokal. Kebijakan ini bersifat nasional, namun UMKM di berbagai wilayah Indonesia mempunyai tingkat tantangan yang berbeda-beda. UMKM di daerah terpencil mungkin saja cenderung membutuhkan dukungan non-fiskal, seperti infrastruktur atau akses pasar atau perhatian lebih dari pemerintah.
Pengurangan PPh Final ini juga terlalu bergantung pada kebijakan pemerintah tanpa mendorong pelaku UMKM untuk mencari inovasi atau efisiensi internal. Ketergantungan ini dapat dinilai mampu melemahkan daya adaptasi UMKM terhadap perubahan kebijakan di masa depan. Selain itu, kebijakan ini belum dikaitkan dengan keberlanjutan bisnis UMKM yang lebih sgnifikan, misalnya dalam mendorong inovasi hijau atau praktik bisnis yang ramah lingkungan. Pengurangan PPh Final bagi UMKM bukan sekadar kebijakan fiskal, tetapi juga strategi pembangunan ekonomi yang inklusif. Dengan memberikan dukungan yang tepat, UMKM dapat tumbuh lebih kuat, menciptakan lapangan kerja, dan berkontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Kini, saatnya semua pihak bersinergi untuk memastikan kebijakan ini benar-benar memberikan manfaat nyata bagi para pelaku usaha di seluruh Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H