Lihat ke Halaman Asli

Clarence C

Pelajar

Darul Falah Lebih dari Sekedar Pesantren, Kisah Menyemai Toleransi (Toleransi sebagai Jembatan, Bukan Tembok)

Diperbarui: 16 November 2024   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1/dokpri

Di tengah dunia yang semakin kompleks, di mana konflik seringkali muncul dari perbedaan, kata "toleransi" menjadi semakin relevan. Namun, apa sebenarnya arti dari toleransi? Apakah sekadar menerima keberadaan orang lain yang berbeda, atau lebih dari itu? Pertanyaan ini mengiringi langkah saya saat mengikuti ekskursi ke Pondok Pesantren Darul Falah, sebuah pengalaman yang tak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga memperdalam rasa kemanusiaan.

Langkah Awal yang Membuka Mata

Pagi itu, kami memulai perjalanan dengan menaiki bus, meninggalkan hiruk-pikuk kota. Di luar jendela, pemandangan perlahan berubah; gedung-gedung tinggi tergantikan oleh hamparan sawah dan perbukitan hijau. Udara terasa lebih sejuk, membawa ketenangan yang sulit ditemukan di tengah keramaian.

"Perjalanan ini lebih dari sekadar ekskursi," pikir saya. "Ini adalah langkah untuk memahami dunia yang berbeda, dan mungkin, menemukan makna baru dalam kebersamaan."

Sesampainya di Darul Falah, kami disambut dengan senyuman hangat para santri. Meskipun baru pertama kali bertemu, keramahan mereka segera mencairkan kecanggungan awal. Kami segera diajak menyelami kehidupan sehari-hari di pesantren, dimulai dengan sesi ngaji pagi yang menggetarkan hati. 

Di siang harinya pun, kami diminta untuk mempresentasikan mengenai apa itu kebaikan, di dalam situ kami semua saling bertukar pikiran dengan para santri dan guru ngaji disana. Pertemuan ini bukan hanya menjadi ruang berbagi pengetahuan, tetapi juga jembatan penghubung dua dunia.

Kehidupan yang Harmonis dalam Ritual

Saat azan subuh berkumandang, suasana di pesantren berubah menjadi penuh kesyahduan. Para santri dengan khidmat berkumpul di aula, melantunkan ayat-ayat suci dengan suara yang mengalun merdu. 

Sebagai seorang Katolik, saya tidak memahami arti kata-kata itu, tetapi ada sesuatu yang universal dalam kekhusyukan mereka. Tradisi seperti salim---menyentuh tangan guru ke dahi---menunjukkan penghormatan yang mendalam terhadap ilmu dan orang yang lebih tua. Gerakan sederhana ini menyampaikan pesan mendalam tentang penghormatan terhadap mereka yang lebih tua dan berilmu. 

Momen-momen ini membuka wawasan saya bahwa agama lebih dari sekadar identitas; ia adalah cara hidup yang mengajarkan nilai universal, seperti kasih dan penghormatan. Tradisi ini mencerminkan kedalaman nilai dalam budaya mereka, di mana keimanan tak hanya menjadi identitas, tetapi juga cara hidup. 

Toleransi: Jembatan yang Menghubungkan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline