Lihat ke Halaman Asli

Lahan Jalan atau Lahan Parkir?; Dinamika di Jalan Parangtritis 2

Diperbarui: 17 Mei 2016   19:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pagi hari sekali, jalan raya di Kota Yogyakarta sudah ramai dengan kendaraan. Ada yang bersekolah, bekerja bahkan ada yang sudah mencari kebutuhan yang harus dibeli pada pagi hari. Salah satu destinasi masyarakat untuk berbelanja kebutuhan di Yogyakarta adalah Pasar Prawirotaman. Pasar yang terletak di Jalan Parangtritis 2 ini salah satu pasar yang berdiri cukup lama di Kota Yogyakarta, letaknya strategis dan dekat dengan akses penduduk sekitar serta daerah wisata menyebabkan pasar ini ramai pada pagi hari.

Dinamika dalam pasar ini pun beragam. Ada yang berjualan, ada yang menjadi distributor, ada pula yang menjadi pembeli. Yang berjualan datang dengan sepeda motor, yang menjadi distributor datang dengan truk, yang menjadi pembeli datang dengan sepeda motor bahkan ada yang menggunakan mobil. Tentu dengan kendaraan yang mereka pakai untuk melakukan kegiatan di pasar tersebut membutuhkan ruang yang cukup untuk memarkir kendaraannya. Namun, tidak sembarang tempat dapat digunakan untuk parkir kendaraan dan lahan parkir yang disediakan pun terbatas. Akibatnya, bahu jalan yang juga sebagai jalur lambat untuk sepeda dan becak digunakan menjadi lahan parkir.

Memahami Ruang Publik

Sebelum menganalisis kasus di atas, alangkah baiknya kita mengenal ruang publik. Ruang publik adalah suatu ruang atau wilayah di mana individu dapat berinteraksi dan bertemu dengan individu lainnya. Hannah Arrendt, dalam buku Politik Otentik karya Agus Sutanto, mengatakan bahwa kata publik dalam ruang publik menjelaskan dua fenomena yang saling terkait namun bukan identik, yaitu: fenomena penampakan di depan orang banyak, untuk dilihat dan didengarkan oleh setiap orang, serta kata publik sebagai penanda sebuah ruang yang dimiliki oleh semu a orang. Sebagai sebuah ruang yang dimiliki oleh semua orang, ruang publik sebaiknya harus bebas dari dominasi siapapun dan keadaaan individu dalam ruang tersebut adalah setara. Jalan, juga menjadi ruang publik yang membentuk opini publik. Di sana terdapat dinamika sosial yang muncul dalam bentuk tanda-tanda. Misalnya, tanda sein yang digunakan oleh kendaraan menandakan tujuan kendaraan tersebut dan zebracross sebagai area penyeberangan jalan yang digunakan oleh para pejalan kaki. Tanda-tanda tersebut menunjukkan bahwa setiap orang berhak melakukan kegiatan dinamis di jalan, dan setiap orang juga harus menghargai keputusan tersebut.

Di Jalan Prawirotaman 2, terdapat bahu jalan yang juga menjadi jalur sepeda. Untuk diketahui, jalur sepeda tersebut merupakan program dari Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta yang bernama Sego Segawe, yang artinya sepeda nganggo sekolah lan nyambut gawe. Jalur sepeda yang terdapat di Jalan Prawirotaman 2 merupakan jalur bersama, yang artinya setiap orang berhak menggunakan jalur tersebut apapun kendaraannya, misalkan becak, sepeda motor, bahkan mobil bila ingin melambat. Maka, jalur sepeda menjadi ruang publik, ia bersifat dinamis, tempat berinteraksi individu yang menggunakan kendaraan apapun, hanya saja ia didesain oleh Pemerintah sebagai jalur khusus untuk kendaraan berlaju lambat, agar tidak menganggu kendaraan berlaju cepat.

Lahan Parkir atau Lahan Jalan

Pasar hanya buka di pagi hari dan masyarakat yang datang ke pasar tersebut memiliki kebutuhan serta kepentingan yang beragam, misalkan mengantar barang, berjualan, membeli, menyuplai makanan. Seiring dengan kebutuhan masyarakat untuk memarkir kendaraannya, dinamika yang disebutkan tadi membuat jalur sepeda harus dikorbankan menjadi lahan parkir. Efeknya, para pengguna jalan, tidak hanya pengguna sepeda, namun juga sepeda motor maupun mobil juga harus mengalah ketika lahan jalan yang mereka gunakan semakin sempit. Walaupun terdapat beberapa lahan parkir legal di sebelah utara Pasar Prawirotaman, namun lahan ini tidak cukup mengingat kendaraan yang keluar masuk untuk kegiatan di pasar lebih banyak. Memarkirkan kendaraan memang merupakan kebutuhan, karena setiap orang menginginkan kendaraan yang ia gunakan dapat berhenti dengan aman. Namun, perlu diingat ruang publik yang merupakan milik publik seharusnya tidak diprivatisasi. Artinya, ketika orang memarkirkan kendaraan tersebut, ia perlu mengingat bahwa ada orang lain yang akan menggunakan jalur tersebut, atau lahan tersebut.

Kesimpulan

Pelipatan antaruang mengandalkan transportasi merupakan salah satu fenomena yang terjadi dalam masyarakat Yogyakarta dalam berdinamika sosial. Kota Yogyakarta yang terdiri dari berbagai banyak orang dengan latar belakang yang beragam tentu memiliki kebutuhan bahkan kepentingan individu yang dapat berkontribusi dalam bermasyarakat. Pasar Prawirotaman memang menjadi destinasi berbagai individu-individu tersebut yang memenuhi kebutuhan sehari-hari ataupun untuk keperluan lain, namun efek dari penggunaan transportasi oleh orang-orang yang berkegiatan di Pasar Prawirotaman memunculkan sebuah dilema yaitu penggunaan lahan jalan menjadi lahan parkir. Dari sini, muncul masalah baru, yaitu kemacetan yang terjadi setiap pagi hari.

Memang, lahan parkir tidak ada sebelum pasar itu muncul, namun mengingat pertumbuhan penduduk dan penggunaan kendaraan bermotor semakin bertambah, maka seharusnya ada kebijakan yang dapat mengatur lahan parkir pengunjung Pasar Prawirotaman. Menurut Arrendt, peraturan membentuk manusia sebagai individu yang mempunyai tempat tertentu di ruang publik, menghadirkan diri secara alamiah, namun sebagai individu politik yang setara. Kebebasan individu itu penting, namun pembatasan individu juga penting dengan diadakannya peraturan untuk mencapai sebuah kesetaraan. Peraturan diciptakan sebagai penjamin kesetaraan, walaupun dalam beberapa aspek masyarakat tidak setara.

Mengingat ruang publik sebagai pembentuk opini publik, masyarakat juga bisa memiliki kesepakatan tertentu dalam memaknai ruang publik, hanya saja kesepakatan tersebut bukan merupakan sebuah claim, yang artinya tidak ada dominasi dari individu-individu untuk membuat sebuah kesepakatan ataupun aksi secara sepihak. Intinya, kesetaraan individu harus dijunjung dalam membentuk opini publik, entah itu dalam bentuk simbol maupun verbal, kapanpun, di ruang publik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline