Tahukah kalian apa itu kampanye? Apa itu koplo? Dan apa itu komunikasi?
Pasti ketiga hal tersebut terasa tidak asing di telinga. Kampanye (dalam konteks politik) menurut Wikipedia adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dan kampanye politik selalu merujuk pada kampanye pada pemilihan umum. Kampanye juga dapat diartikan sebagai suatu proses kegiatan komunikasi individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan bertujuan untuk menciptakan suatu efek atau dampak tertentu. (Rogers dan Storey, 1987). Dari kampanye kita beralih ke koplo, koplo atau yang lebih dikenal dengan istilah dangdut koplo adalah sebuah genre musik yang merupakan adaptasi dari lagu dangdut yang kemudian diubah aransemen musiknya sehingga lebih berirama cepat dan penuh dengan alunan drum. Tempo lagu koplo jauh lebih cepat daripada lagu dangdut sehingga untuk saat ini, lagu koplo banyak digandrungi anak muda untuk sekadar berjoget ria. Lalu yang terakhir adalah komunikasi. Komunikasi sendiri memiliki banyak definisi. Menurut Deddy Mulyana (2015 : 11) "Komunikasi adalah proses berbagi makna melalui prilaku verbal dan non verbal yang dilakukan oleh dua orang atau lebih". Lalu menurut Andrew E. Sikula (2017 : 145) "Komunikasi adalah proses pemindahan informasi, pengertian, dan pemahaman dari seseorang, suatu tempat, atau sesuatu kepada sesuatu, tempat atau orang lain". Antara kampanye, koplo, dan komunikasi memiliki relasi yang sangat kuat terlebih pada masa pemilu tiba. Nah, kali ini saya akan mengulik tentang hubungan serta pengaruh antara ketiga hal tersebut.
Seperti yang kita tahu, kampanye politik tidak bisa dipisahkan dengan yang namanya musik dangdut koplo. Kencenderungan tradisi kampanye politik di Indonesia menggunakan metode pengumpulan massa yang mana memposisikan musik dangdut sebagai 'karpet merah' untuk masyarakat agar mau datang ke area kampanye, sehingga menciptakan pandangan bahwa partai politik tersebut berpihak pada rakyat.
Jika dikaitkan dengan ilmu komunikasi, kampanye dengan lagu dangdut memiliki korelasi yang jelas. Komunikasi Politik sendiri merupakan sebuah aktivitas komunikasi, baik verbal maupun non verbal, yang memiliki muatan-muatan politik. Berdasarkan teori menurut Melvin L. Defleur, kita dapat membaca sebuah aktivitas komunikasi kaitannya dengan politik dengan model transaksional simultan. Dengan karakternya yang nonlinear, model ini sekurang-kurangnya menggambarkan tiga faktor yang berpengaruh dalam proses komunikasi politik. Pertama, lingkungan fisik, yaitu lingkungan tempat komunikasi itu berlangsung dengan menekankan pada aspek what (Apa) dan how (Bagaimana) pesan-pesan komunikasi itu di pertukarkan. Dalam hal ini, kebanyakan atau bahkan hampir semua Partai Politik menggunakan panggung hiburan yang didirikan di alun-alun kota, lapangan sepakbola, ataupun aula gedung besar sehingga menyerupai konser yang memang cukup menarik untuk mengundang euforia masyarakat. Kedua, situasi sosiokultural, yakni komunikasi merupakan bagian dari situasi sosial yang di dalamnya terkandung makna kultural atau budaya tertentu. Jika dihubungkan dengan kampanye dan musik dangdut, letak kultural ini berada pada musik dangdut yang sudah mendarah daging di Indonesia sebagai sebuah kultur yang menjamur di seluruh lapisan masyarakat. Ketiga, hubungan sosial, yakni status hubungan antar pelaku komunikasi sangat berpengaruh, baik terhadap isi pesan itu sendiri maupun terhadap proses bagaimana pesan-pesan itu dikirim dan diterima. Jika dihubungkan dengan proses komunikasi politik dalam kampanye, musik dangdut bukan hanya dijadikan sebagai hiburan semata, melainkan sering dijadikan sebagai jingle atau jargon Parpol untuk menyampaikan pesan agar mudah diterima di dalam masyarakat. Lantas, apakah musik dangdut efektif untuk mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya dari masyarakat dan dapat menjamin sebuah Parpol menang dalam Pemilihan Umum? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya akan mengulik sejarah hubungan antara ketiga hal itu terlebih dahulu.
Menurut sejarah, Musik dangdut berawal pada tahun 1940-an dari musik Melayu. Pada tahun 1973 ketenaran musik dangdut semakin meningkat dengan munculnya grup Soneta oleh Rhoma Irama. Bukan tanpa alasan musik dangdut sangat erat hubungannya dengan politik. Setyawan (2004), mengatakan bahwa pada tahun 1990-an, musik dangdut sudah digunakan oleh partai politik yang berkuasa sebagai media kampanye. Musik dangdut digunakan sebagai media dan mobilisasi politik dalam kampanye untuk menarik masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah untuk ikut datang ke area kampanye dan mendukung partai yang sedang melakukan kampanye. Pada tahun-tahun itu, Sang raja dangdut Rhoma Irama yang memang sedang naik daun karena karya-karya musiknya mulai masuk ke dunia politik. Semua lagu yang Ia ciptakan berhasil laku keras di pasaran dan menjadi primadona di semua kalangan. Dalam sejarahnya, isi atau makna dari lagu-lagu Rhoma Irama mengalami perubahan. Semula lagunya bertemakan kisah percintaan dan persoalan hidup sehari-hari yang relate dengan keseharian masyarakat kelas bawah, berubah menjadi lagu-lagu yang cenderung menyuarakan tentang moral di dalamnya. Hal itu selaras dengan sikap politik Rhoma Irama yang dimulai ketika dirinya bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal tersebut sempat membuat rezim Soeharto tidak senang. Sebagaimana kita ketahui, bahwa partai politik yang terkenal pada masa itu adalah Golkar, sehingga keberadaan Rhoma dengan pendukung yang banyak dianggap membahayakan, karena bersebrangan dengan Golkar. Sehingga menghasilkan pencekalan penampilan Sang raja dangdut di TVRI selama hampir 11 tahun (1977-1988). Bukan kehilangan penggemar, justru penggemar Rhoma Irama bertambah banyak. Pada awal 90-an, ketika Rhoma diizinkan tampil kembali di televisi, hal tersebut mempengaruhi sikap politiknya. Rhoma Irama pernah berpindah partai, menjadi juru kampanye Golkar, dan menjadi anggota MPR dari utusan golongan seniman dan artis pada tahun 1992. Langkah-langkah politik yang diambil Rhoma Irama ini pun menghasilkan dampak yang cukup besar pada pandangan musik dangdut yang semula dianggap sebagai musik kampungan, menjadi musik yang digandrungi semua kalangan. Musik dangdut tidak hanya dinikmati oleh kalangan bawah saja, melainkan juga pejabat-pejabat dari kalangan menengah ke atas. Ketika orde baru runtuh tahun 1998, Rhoma Irama berpindah partai politik. Pada tahun 2012, Rhoma Irama diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai calon Presiden tetapi gagal. Hal tersebut terjadi karena suara Partai PKB tidak mencapai 20%. Hal tersebut tak lantas menbuat seorang Rhoma Irama menyerah begitu saja, dirinya lalu berpindah partai lagi ke Partai Bulan Bintang (PBB), tetapi tidak berhasil lagi karena kalah dengan nama calon yng lain. Tidak berhenti di situ, pada September tahun 2015 Rhoma Irama mendeklarasikan partai yang ia bentuk sendiri bernama Partai Islam Damai dan Aman (Idaman). Pada saat itu, Partai Idaman digadang-gadang akan menjadi jembatan bagi Sang raja dangdut untuk mencalonkan diri sebagai Capres pada Pemilu 2019. Namun, lagi-lagi hal itu gagal karena Partai Idaman tidak lulus verifikasi dimana mengharuskan memiliki sedikitnya 75 persen kepengurusan di setiap provinsi. Melihat ambisi dari seorang Rhoma Irama, pengamat politik dan peneliti LIPI, Siti Zuhroh mengatakan, Rhoma Irama lebih cocok untuk menjadi vote getter (pencari suara) PKB ketimbang sebagai bakal calon presiden partai tersebut. Dan menurut saya hal tersebut memang benar, para penggemar Rhoma Irama yang begitu banyak pun tidak cukup yakin memberikan suara pada idolanya, karena jika dilogika Rhoma Irama pasti akan menang dalam Pemilu karena seluruh Indonesia sedang menggandrungi musik dangdut karyanya.
Pernyataan dari pengamat politik tersebut selaras dengan data-data penyanyi dangdut top yang diundang dalam kampanye politik di masa-masa setelahnya. Di tahun 2015, penyanyi dangdut Siti Badriah mengaku laris manis diundang oleh berbagai Parpol dalam Pilkada 2015. Dirinya dipercaya untuk menghibur massa di tengah-tengah kampanye berlangsung. Lalu, di Pilkada Jawa Timur 2018, Calon Gubernur (Cagub) Saifullah Yusuf, mengontrak penyanyi dangdut koplo yang sedang naik daun yaitu Via Vallen dan Nella Kharisma sebagai model dan penyanyi untuk membawakan lagu kampanye berjudul "Kabeh Sedulur, Kabeh Makmur". Saat itu kedua penyanyi kondang tersebut dijadikan sebagai 'senjata politik' untuk menggaet suara kaum muda yang sedang gila-gilanya dengan musik dangdut koplo. Sedangkan pada tahun 2022, Prabowo Subianto mengundang penyanyi dangdut populer Denny Caknan ke kantornya. Obrolan kedai kopi yang ingin Prabowo dirikan suatu hari nanti dengan Denny Caknan sebagai brand ambassadornya, tidak dapat dianggap sebagai obrolan biasa mengingat 2024 merupakan tahun politik. Dan yang terbaru hari Sabtu, 16 Desember 2023 kemarin ada Masdho yang merupakan seorang penyanyi pendatang baru juga diundang sebagai bintang tamu di Alun-Alun Wonogiri dalam acara sosialisasi Pemilu 2024 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bahkan bukan Parpol melainkan KPU sendiri memasukkan unsur musik dangdut koplo untuk menyampaikan sosialisasi Pemilu pada masyarakat. Hal ini tidak telepas dari fakta bahwa mayoritas pemilih di Pemilu 2024 didominasi oleh Gen Z dan milenial dengan rentang usia 17-39 tahun, sehingga kampanye politik selalu memasukkan kultur yang sedang tren di kalangan tersebut. Namun, apakah hal itu dapat menjamin keberhasilan kampanye dan perolehan suara? Eitsss belum tentu.
Berdasarkan fakta yang terjadi sejak era Rhoma Irama yang gagal menang meskipun memiliki banyak penggemar, hingga penyanyi-penyanyi top yang diundang oleh sebuah Parpol untuk menghibur massa padahal belum tentu penyanyi tersebut memihak Parpol yang mengundangnya, sebenarnya sudah terlihat secara jelas hubungan atau posisi antara musik dangdut koplo dengan kampanye politik. Musik dangdut koplo memang sangat efektif jika dijadikan sebagai media pengumpulan massa pada kampanye di Indonesia. Musik dangdut koplo juga memiliki daya tarik yang lebih tinggi jika dijadikan sebagai jingle atau lagu kampanye dalam partai politik dibandingkan dengan genre lain. Namun, musik dangdut koplo tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur banyaknya suara yang berhasil dikumpulkan oleh sebuah partai politik. Bisa dibilang, musik dangdut koplo hanya sekadar pemanis dalam komunikasi politik. Partai politik yang berkampanye dengan memasukkan unsur musik dangdut koplo belum tentu berpihak pada masyarakat, begitupun masyarakat yang datang ke area kampanye belum tentu 100% menyerahkan suara mereka kepada Parpol tersebut. Lalu, artis atau penyanyi yang diundang pada saat kampanye berlangsung, belum tentu memiliki keberpihakan penuh pada Parpol yang sudah membayar mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebenarnya musik dangdut koplo memiliki posisi yang lebih tinggi daripada Parpol, Caleg, Cagub, bahkan Capres itu sendiri pada kampanye dalam konteks komunikasi politik di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H