Lihat ke Halaman Asli

Menghadapi Tangisan di Hari Pertama Sekolah

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi menangis (sumber: www.howismyface.com)

“The most important day in school is the first day, not graduation day.” – Harry Wong.

Seorang pendidik terkenal, Harry Wong pernah berkata bahwa hari pertama sekolah lebih penting dari hari kelulusan. Hari pertama adalah momen penentu hari-hari selanjutnya yang akan dilalui oleh seorang anak. Di sanalah keberhasilan dan kegagalan anak akan ditentukan. Sedangkan hari kelulusan hanyalah sebuah momen seremonial belaka untuk mengenang dan menghargai jerih payah yang telah dilakukan oleh anak selama satu jenjang pendidikan. Maka dari itu, momen hari pertama sekolah sebaiknya menjadi pengalaman yang menyenangkan dan membangun bagi anak. Lalu bagaimana jika hari pertama sekolah seorang anak sudah terlanjur suram? Saya akan berbagi pengalaman saya di masa kecil.

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Hari pertama sekolah seharusnya menyenangkan dan berkesan  (sumber: www.tiedyefiles.com)"][/caption] Karena alasan keluarga, maka saya harus pindah sekolah saat naik kelas tiga SD. Berpindah dari sebuah kota kecil di lereng gunung, Temanggung ke kota pendidikan kedua di Indonesia pada masa itu, yaitu Malang membuat saya mengalami shock. Bagaimana tidak? Pertama, saya disekolahkan di sebuah sekolah swasta yang sangat disiplin. Cerita dari orang-orang mengenai ketatnya peraturan sekolah sudah membuat saya bergidik di hari pertama. Keadaan tersebut sangat bertolak belakang dengan SD saya sebelumnya. Kedua, saya kaget melihat teman-teman yang datang dari keluarga berada. Hampir dari mereka semua diantar dengan mobil pribadi sedangkan saya hanya diantar dengan sepeda ontel oleh kakek saya. Bagi seorang anak kecil hal tersebut sangat mempengaruhi self esteem, terutama di hari pertama sekolah. Ketiga, hal yang paling membuat stres adalah saya langsung mendapat pelajaran Bahasa Inggris di hari pertama. Saya masih ingat ketika diminta untuk membacakan sebuah teks, saya hanya tertegun kemudian menangis. Bukan masalah kecil nyali, namun sebelumnya saya belum pernah menyentuh sedikit pun Bahasa Inggris. SD baru saya mulai mengajarkan Bahasa Inggris di kelas satu sehingga hal tersebut membuat saya ketinggalan dua tahun dari teman-teman sekelas saya. [caption id="" align="aligncenter" width="421" caption="Ilustrasi menangis (sumber: www.howismyface.com)"][/caption]

Namun saya bersyukur karena saya memiliki keluarga yang selalu mendukung saya sepenuh hati. Kakek saya menggembleng mental saya dengan tiada henti menananamkan nilai-nilai yang berharga. Bagi beliau, meskipun saya masih kelas tiga dan tidak tinggal bersama orang tua, saya harus bisa bertindak layaknya orang dewasa. Yang pertama, sejak pulang sekolah di hari pertama tersebut, kakek menekankan pentingnya kedisiplinan. Meski belajar hidup dispilin itu tidak mudah dan tidak menarik, kelak kita akan memetik hasilnya. Beliau berkata bahwa mestinya saya bersyukur karena diberi kesempatan untuk belajar di sebuah sekolah yang disiplin. Kedua, manusia tidak boleh minder dan harus bersyukur atas segala yang dimiliki. Beliau menanamkan bahwa kualitas hidup seseorang tidak ditentukan dari kekayaan dan jabatan, melainkan ketaatan pada Tuhan dan pelayanan bagi sesama. Beliau selalu menanamkan bahwa ketika kita hidup sederhana, kita akan bisa memaknai kehidupan itu sendiri. Sungguh merupakan hal yang saya belum pahami ketika masih kecil. Dan yang ketiga, kakek menekankan tentang pentingnya bekerja keras. Tidak ada kesuksesan yang diraih secara cuma-cuma. Kesuksesan yang dimaksud kakek itu sendiri bukanlah sebuah tujuan. Kesuksesan baginya adalah hasil dari proses yang begitu panjang.

Pengalaman ‘buruk’ hari pertama sekolah saya diperbaiki oleh kakek (dan keluarga) saya. Sepanjang caturwulan satu saya didisiplinkan dan terus digembleng mentalnya. Hasilnya? Seorang anak pindahan dari lereng gunung bisa menjadi siswa rangking satu di sebuah sekolah favorit di kota Malang. Kelanjutannya, saya juga memenangkan berbagai perlombaan cerdas cermat dan seni. Sebelum menjadi seorang guru, saya menjadi sarjana karena beasiswa seratus persen. Disinilah terbukti, bahwa tangis di hari pertama sekolah tidak akan menjadi malapetaka jika diri sendiri sendiri, keluarga, dan lingkungan mau memperbaikinya. Terkait dengan kutipan pembuka tulisan ini, saya meyakini bahwa hari pertama itu sangat penting. Namun saya juga menyadari bahwa bukan hanya hari pertama dan hari kelulusan saja yang penting. Setiap saat akan menjadi sangat berharga jika kita menghargai pentingnya sebuah proses. Bagaimana dengan Anda? Seorang guru yang sedang mengenang masa ketika menjadi murid, CKPA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline