Lihat ke Halaman Asli

Melindungi Pengrajin Jabar dan Membunuh Petani Rotan Sulawesi

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Ada petikan berita yang menggelitik hati saya yakni Kebijakan Menteri Perdagangan yang akan menghentikan ekspor rotan dalam rangka melindungi Industri mebel rotan dalam negeri khususnya Jawa Barat. Banyak hal yang harusnya menjadi pertimbangan sebelum penghentian ekspor salah satu komoditi hasil hutan ini.

Salah satunya adalah nasib petani rotan di Sulawesi dan Kalimantan yang menggantungkan hidupnya dengan setiap hari masuk hutan mencari rotan, mereka adalah bagian dari anak bangsa yang berhak mendapatkan penghidupan. Mereka masuk hutan berjalan kaki dengan hanya berbekal golok dan bekal seadanya, mencari rotan-rotan yang tumbuh disela-sela pepohonan kemudian dipanggul keluar hutan untuk kemudian dibawa ke pedagang pengumpul. Harga yang mereka peroleh ditentukan oleh diameter, berat dan kadar air dari rotan yang mereka kumpulkan.

Saya pernah berdialog dengan petani rotan yang baru keluar hutan, bersama rekannya mereka hanya ‘mampu’ mengangkut dua pikul rotan dengan diameter kurang lebih seukuran jempol kaki. Mereka mengaku tidak mau mengambil lebih besar karena batas kemampuan fisik mereka dan juga untuk menjaga kelestarian rotan yang ada dikawasan itu. Mereka begitu arif untuk menjaga keberlangsungan hutan rotan tadi untuk menjaga sumber penghasilan mereka di kemudian hari.

Yang menjadi ganjalan di hati saya, apakah setelah perjuangan mereka keluar masuk hutan dan kearifan mereka untuk menjaga hasil hutan tidak layak di ganjar dengan harga jual rotan yang ‘layak’? apakah dalam rangka menjaga keberlangsungan pengrajin di Cirebon yang kesulitan bahan baku maka mereka harus dikekang kebebasannya untuk menjual hasil perolehan mereka sendiri?

Mungkinkah biaya transport rotan ke China jauh lebih murah jika dibandingkan dengan biaya ke Cirebon? Ataukah pengrajin kita yang kurang ‘kreatif’ mengolah bahan baku tadi sehingga nilai jual produk mereka dinilai rendah? Saya juga pernah melihat kerajinan tangan buatan China yang begitu kreatif, mereka memanfaatkan bahan sisa dari industri kayu, rotan, bahkan kulit jagung untuk dibuat keranjang-keranjang, gantungan kunci, dll. Mereka mampu membuat sesuatu yang bernilai jual dari bahan-bahan yang di negeri kita dianggap limbah.

Mungkin ada solusi sederhana buat pengrajin rotan Cirebon, hijralah ke Sulawesi dan Kalimantan. Tinggallah di sini dan berkolaborasi dengan para pengrajin setempat untuk menekan biaya transport dan berfikir kreatif lah sehingga karya bersama anda bisa langsung di ekspor berupa barang jadi bukan lagi bahan mentah.

Ada solusi lain???

(sedikit keluh kesah dari orang awam masalah rotan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline