Lihat ke Halaman Asli

Jangan Pernah Berkompromi dengan Keselamatan atau Nyawa Sebagai Taruhan

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Kalau sudah begini semua rugi besar. Baik Pertamina maupun PT KAI, kedua-duanya adalah BUMN, yang mana kerugian seluruhnya akan berpulang lagi kepada negara ini. Truk tangki Pertamina meledak, 32 ton minyak tumpah sia-sia di tengah krisis harga minyak dunia dan kenaikan harga BBM. Satu gerbong KRL meledak, satu miliar uang negara lenyap terbakar. Belum lagi penumpang yang harus mendapat santunan, baik karena meninggal dunia, luka-luka, maupun yang menderita cacat seumur hidup. Mungkin dari segi materi semua itu masih terbayar, namun kalau yang sudah menyangkut nyawa, tubuh, dan psikologi, percayalah bahwa semua itu tidak ternilai harganya!!! Potong kuping saya, Anda tentu tidak mau nyawa Anda hanya dibayarkan 60 juta rupiah, ataupun Anda mendapatkan 45 juta rupiah namun sebagai gantinya Anda harus dirawat secara intensif di dalam ruang UGD, atau yang lebih parahnya lagi Anda harus kehilangan tangan sebelah kanan dan hanya dibayarkan 25 juta rupiah.

Namun, demikianlah akibatnya seandainya Anda hanya memikirkan diri Anda sendiri. Tidak hanya merugikan nyawa Anda sendiri, Anda juga berpeluang menghilangkan nyawa orang lain. Seorang Ibu harus histeris kehilangan anaknya, seorang anak harus menjadi yatim karena sang Bapak adalah masinis yang berada pada gerbong paling depan, seorang wanita dalam keadaan sadar diri dengan sangat berat hati harus memberikan persetujuan agar tangan sebelah kanannya dapat diamputasi, akibat kondisi tangan kanannya yang terjepit ketika kecelakaan terjadi sudah sangat parah dan menyebabkan keracunan bagi anggota tubuh yang lain apabila tidak segera diamputasi. Bayangkan jika seandainya Anda menjadi salah satu korban dari mereka. Lihat, bagaimana egosinya diri Anda, seandainya Anda hanya memikirkan diri dan kepentingan pribadi Anda sendiri.

Saya juga adalah pengguna setia Commuter Line (KRL), terutama jurusan Depok-Jakarta Kota ataupun Depok-Tanah Abang. Itu mengapa saya benar-benar prihatin ketika mengetahui berita hari ini mengenai kecelakaan KRL di Bintaro tersebut. Saya benar-benar tidak habis pikir mengapa supir truk tangki Pertamina tersebut masih saja nekat menerobos palang pintu rel kereta yang sudah benar-benar tertutup. Bahkan, petugas penjaga palang pintu sudah sampai mengibarkan bendera merah tanda peringatan langsung. Namun lihatlah, pengguna lalu lintas jalan, dalam hal ini truk tangki masih saja egois tancap gas dan menerobos palang pintu rel kereta.

Akibatnya? Akibatnya, nyawa melayang, luka bakar berat, cacat seumur hidup, trauma psikologis berkepanjangan, negara rugi besar secara materi, rakyat menjadi berselisih dengan pemerintah, dan masih banyak lagi. Berbagai pihak kini saling berdebat mengenai keharusan agar setiap perlintasan kereta api dijaga oleh petugas. Rakyat dan pemerintah berseteru tentang perlu tidaknya dibuat underpass pada perlintasan-perlintasan rel kereta. Dan kini, PT KAI sedang berusaha meminta pertanggungjawaban kepada Pertamina, sementara korban kecelakaan sedang dalam proses penuntutan kepada PT KAI. Kerugian berbuntut panjang dan kian menambah rumit persoalan. Alih-alih mencari solusi, jurang perbedaan semakin melebar.

Namun, tahukah Anda bahwa di banyak negara tidak ada perlintasan KRL yang dijaga, tapi tidak pernah terjadi tabarakan di atas rel pada perlintasan KRL? Bahkan, di banyak kota besar di negara-negara tersebut, KRL berjalan seiring dengan kendaraan bermotor di tengah kota tapi tidak pernah terjadi senggolan, atau dengan kata lain, tidak ada underpass di jalan-jalan utama? Sadar-kah Anda kalau pada saat tragedi KRL Bintaro ini pun sudah ada petugas yang memberikan peringatan dan menjalankan tugasnya dengan benar, namun kecelakaan tetap terjadi karena truk tangki tetap menerobos palang pintu yang jelas-jelas berfungsi dengan baik?

Jadi, kesalahan bukanlah terletak pada infrastruktur palang pintu rel kereta, tidak adanya underpass, ataupun petugas penjaga palang pintu, namun kesalahan semua selalu berpulang kepada diri Anda masing-masing sebagai pengguna jalan raya. Disiplin tidaknya Anda dan tertib tidaknya Anda dalam berlalu lintas-lah yang menjadi kunci utama agar kecelakaan-kecelakaan seperti ini tidak terulang lagi di kemudian hari. Sudahlah, mari kita akhiri semua ini. Jadikanlah tragedi kecelakaan KRL Bintaro ini ssebagai yang terakhir. Sayangi nyawa Anda dan hargai tubuh yang sudah dititipkan oleh Tuhan kepada Anda. Percayalah bahwa penyesalan pasti selalu datang belakangan, dan ketika nasi sudah menjadi bubur, semua menjadi sia-sia dan tidak ada gunanya lagi. Jangan pernah mengambil resiko yang jelas-jelas sudah berada di depan mata Anda. Sirine sudah berbunyi, palang pintu rel sudah melintang, maka bersegeralah menginjak rem dan berhenti dengan sempurna tepat sebelum di belakang palang pintu rel kereta. Jangan pernah menyamakan apalagi menerapkan kondisi ketika sirine berbunyi di atas rel kereta dengan ketika lampu lalu lintas menunjukkan lampu kuning, dimana sebagian besar dari Anda justru tancap gas.

Jadi, sebelum berbuat, pikirkanlah! Sebelum melangkah, renungkanlah! Berpikirlah seribu kali sebelum Anda menerobos lampu merah! Berpikirlah satu juta kali sebelum Anda menerobos jalur busway! Berpikirlah sepuluh juta kali sebelum Anda menerobos palang pintu perlintasan rel kereta api!!! Bersabarlah... Kalaupun Anda harus terlambat masuk kantor, tidak jadi rapat dengan Pimpinan, ataupun tidak diperbolehkan mengikuti ujian di kelas, JANGAN PERNAH BERKOMPROMI DENGAN KESELAMATAN ATAU NYAWA SEBAGAI TARUHAN...

Jakarta, 9 Desember 2013




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline