Lihat ke Halaman Asli

Venus And Mars (4)

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1332655969491423092

Aku selalu kagum pada kemampuanku beradaptasi, dan di sini aku bahkan tahu bagaimana harus bersosialisasi dengan para kalangan atas penghuni Upper East Side, mereka yang terlihat berkilau karena harta, mereka yang terlihat lelah karena drama, hidup memang sama di mana saja, penuh sandiwara juga rahasia.

Ada ketakutan saat aku harus menjalani hidup seorang diri. Aku merindukan Soraya, sangat. Aku merindukan debur ombak, sinar matahari yang menyengat juga keramahan warga lokal, aku merindukan teman-temanku di sana, para gadis tukang kepang, pemuda tukang tattoo, hingga anak-anak yang akan menawari kano di pantai Senggigi yang indah, aku bahkan merindukan derit kaki di lantai kayu rumah kami dulu.

Sekarang aku lebih banyak melewatkan waktu dengan keluarga Weingarden, sahabat ayahku, lagipula mereka punya putra tampan yang dari awal berjumpa tak repot-repot menutupi keteratarikannya padaku.

“Ceritakan tentang hidupmu selama ini?” Emile Weingarden dengan senyum menawannya bertanya padaku, kami tengah melewatkan brunch di sebuah Restaurant di Washington Street di hari minggu yang cerah.

Well…fucking fantastic!” aku akan membuatnya menyukai tanah tropis, walau itu artinya dia akan mengalami pengelupasan ujung hidung parah bila terlalu lama berjemur di bawah matahari, kulitnya terlalu pucat dan tipis. Aku menyuapi diriku sepotong kecil Apple Cinnamon Pancake, mengunyah lalu melanjutkan bicara. “Aku tinggal di sebuah Cottage di dekat pantai, seharian aku melakukan banyak hal menyenangkan, berenang di pantai, berbicara dengan warga lokal, melukis, kadang bermobil ke kota hanya untuk melihat-lihat, aku tertarik dengan kehidupan sederhana, sore hari aku akan berjalan kaki di pantai, atau main kano, menikmati sunset, malam hari aku akan berpesta sampai pagi, kau harus ke sana suatu hari nanti!”

“Bersamamu…tentu saja” dia menyesap Espresso-nya sambil melemparkan pandangan menggodanya ke arahku, aku membalasnya dengan senyum malu-malu.

Emile Weingarden nyaris seperti tokoh-tokoh pria dalam drama romantis Hollywood, terlalu menawan, dengan rambut berpotongan rapi berwarna madu, mata teduh berwarna kelabu, deretan gigi sempurna perawatan dokter gigi mahal, lulusan Harvard dan telah memulai karier hukumnya di firma ayahnya, wanita mana yang takkan terkesan? Bukan aku yang sekarang, mungkin aku nanti yang berusia 29 tahun, aku masih sepuluh tahun lebih muda untuk mengganti nama belakangku, lagipula…ada pria yang membayangiku, pria dengan mata tajam berwajah hijau sempurna.

“Apa rencanamu ke depan?” tanyanya lagi, dengan mimik serius, terlihat dari kerutan di dahinya.

“Entahlah…aku tak tau” itu jawaban jujur.

“Bagaimana kalau kau hanya perlu menjalani hidup seperti para putri? dilayani dan berpesta tiap hari, biarkan mereka bekerja untukmu, mungkin kamu bisa memikirkan ide untuk tinggal di Empire Suite berharga 1200 dollar permalam dengan pemandangan Empire State Building yang bisa kau nikmati sambil berendam di bathub, di pagi hari kau bisa menikmati matahari sambil memandang kecantikan kota New York dari garden rooftop, sambil berenang dan menikmati Dulce de Leche with Strawberries, malam hari kau bisa berpesta dengan para selebriti dunia, hiduplah bak ratu di negara Monarki, kau hanya bertindak seperti icon, tapi tetap memiliki tahta dan kehormatan, itu semua milikmu, bertingkahlah seolah-olah kau meneruskan bisnis keluargamu, lalu mungkin kau bisa memikirkan untuk mendesain sepatu atau parfum” Dia berbicara seperti sedang menghadapi klien-nya, tapi apa yang dikatakannya seakan membuatku tak percaya, aku gadis yang menikmati hidup dengan keindahan panorama alam alamiah, bukan gadis yang jadi sampul depan majalah Forbes.

Sound like Paris Hilton, rite?” aku setengah tertawa, aku rasa potongan kecil pancake melayang di tenggorokanku.

“Lihatlah gedung berlantai delapan belas itu? “ dia menunjuk bangunan yang terlihat dari balik kaca transparant “itu milikmu, salah satu boutique hotel warisan ayahmu” Aku menatap bangunan bergaya modern dengan sedikit sentuhan retro itu, dan… keanehan itu datang lagi padaku, kilasan kenangan dalam bentuk film bisu terulang lagi, ada aku di sana, menangis, tertawa, berdansa, lalu berlumuran darah dijalan raya, di sana…bersama pria dengan mata berwarna hijau sempurna.

:::bersambung:::

Gambar: Kitty Gallannaugh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline