Lihat ke Halaman Asli

Rahasia Gadis (53)

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1327893927430212397

(Gadis)

Ada saat-saat kita harus jatuh dan terluka. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Ada saat-saat ketika kita seperti tak memiliki siapa-siapa. Saat itulah mungkin kita harus berehenti menatap masa lalu, tapi memulai untuk melihat masa depan, bukannya menahan seseorang yang ingin pergi, tapi membuka hati bagi orang lain yang datang untuk menemani.

***

Matahari sudah meninggi, walaupun juga masih terlalu pagi, tapi yang jelas aku tidak bermimpi saat kulihat sosok yang kupikir takkan pernah lagi kutemui.

Aku ingin berdiri, lalu berlari, tapi kakiku terasa seperti besi.

“Gadis” dia memanggilku, masih dengan suaranya yang dulu.

“Raken” aku tak tau apakah suara lirihku terdengar telinganya.

“Maaf…”

Hening…

“Maaf…karena telah datang begitu terlambat” Ada penyesalan di wajahnya, ada keraguan saat dia hendak melanjutkan merangkai kata.

“Kenapa kamu harus pergi?” aku berbisik, lidahku seolah tak sanggup mengucap kata.

Raken datang padaku, berdiri di sampingku, tapi tidak seperti pertama bertemu, dia tidak melihatku dengan pandangan aneh dan juga tidak seenaknya mencomot sarapan,  juga tidak duduk tanpa sopan. Dia berbeda sekarang walau tak terlalu lama tak berjumpa, tapi perubahan besar seakan mengubah banyak hal. Sesungguhnya, aku ingin lagi bertemu Rakendra yang dulu, seperti pada saat rasa rindu belum menjadi milikku.

“Gadis…gue harus bicara…”

“Kenapa kamu pergi?” tak tau mengapa tanganku bergetar, dan bahuku mengguncang, tangisku pecah tak tertahankan, walau tanpa suara tetesannya terasa perih di pipi. Sebenarnya apa yang kutangisi?

“Hey…jangan pikirkan apa yang tak boleh dipikirkan!” Dia seperti tak suka mengatakan hal ini “Ada hal yang lebih penting sekarang, hal yang harusnya elo ketahui, tapi terpaksa gue tutupi….bokap elo…koma” dia seperti lega saat mengatakannya “Sudah cukup lama…nyaris seminggu ini”

Kupikir ini hanya tentang perasaan yang tak sempat terkatakan tapi ternyata sesuatu yang tak kuduga sebelumnya, dari apa yang dikatakannya dia sepertinya memang tak pernah berpikir tentang apa yang terjadi sebelumnya, sesuatu yang kujadikan moment berharga yang pernah kupunya, perasaan apa yang kurasa? Salah! Seharusnya memang seperti kata-katanya, jangan memikirkan hal yang tak seharusnya dipikirkan, tentang perasaan, dia tak merasakan apa-apa, dan seharusnya aku memang tak berpikir jauh ke sana. Dan sekarang apa yang dibawanya, dua kali lebih menyakitkan dua berita duka, papaku koma entah dimana dan dia baru mengatakannya, ada sudut yang berdarah jauh di dalam diriku, tak mampu lagi menahannya, tangisanku lagi-lagi menderas.

Aku tak bisa memikirkan apa-apa pada saat ini, aku seperti tersesat dalam kegelapan, tak tau jalan pulang, mengingatkan ketenangan, agar mudah bagiku untuk memahami apa yang sedng terjadi, kebingungan ini sungguh-sungguh menyiksa diri, aku seperti berada dalam sepi tak ingin berada dalam posisi ini…

Kehangatan itu datang, dalam sebuah pelukan, aku sedang tak ingin berpikir tentang apapun sekarang, aku hanya ingin menikmati selimut hangat alami ini, aku menumpahkan segalanya, marah dan pedih, kupikir ini wangi segelas coklat hangat tapi ternyata aku salah, wangi ini mengingatkanku pada Caramel yang manis…saat kuhirup wanginya aku seolah tersadar dan membuka mata, bagai mimpi yang harus disudahi, Enzo lah yang di sini, memelukku, saat coklat hangat itu berlalu, tepat setelah meninggalkan sebuah kartu dalam genggamanku.

Saatnya pergi, aku masih tak ingin memahami segala yang harus terjadi, segala yang akan kujalani, aku takkan bisa melewatinya seorang diri.

***

Aku masih terguncang membaca apa yang tertulis di kartu itu, hanya sebuah coretan asal dengan tulisan acak, sesuatu yang ditulis begitu saja, alamat rumah sakit, pastinya tempat papaku di rawat.

***

Tak kuasa untuk melihat tubuhnya yang tergolek tak berdaya, aku hanya berdiri di balik pintu kayu yang bagian atasnya terbuat dari kaca, aku mengintip dari balik pembatas kaca transparan untuk melihat ke dalam ruangan tempat papaku berada. Tanganku masih tergenggam erat, jari jemari Enzo memberiku kekuatan, di satu sisi ada keyakinan untukku masuk dan melihat papaku dan ada juga ketakutan jika aku tak bisa menerima keadaannya.

Enzo mengangguk, artinya aku memang harus masuk , tapi langkahku terhenti, saat mendengar suara lirih wanita seperti sedang bernyanyi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline