Lihat ke Halaman Asli

Rahasia Gadis (51)

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1327776055788380345

(Zara)

Tidak ada yang lebih menyedihkan selain menyaksikan tragedi yang sama terulang lagi, tanpa bisa kau cegah kejadiannya.

***

Putriku menatap kosong, air matanya mengalir dipipinya, ada ketakutan, ada kecemasan, ada keputusasaan, pemandangan tidak menyenangkan yang cenderung menyiksa. Pipinya teraliri garis berwarna hitam pucat, tak lagi hitam yang benar-benar hitam, karena riasan matanya meleleh, wajahnya kusut, pucat pasi seolah kebahagiaan takkan pernah jadi miliknya, tubuhnya gemetar hebat, dan rambutnya acak-acakkan, aku tak tega melihatnya seperti bukan gadis cantik yang kusebut putriku.

Sisa pesta masih terasa di bawah sana, tapi apa yang terjadi di atas sini, biarlah hanya menjadi rahasia. Kasus pemerkosaan adalah aib besar bagi setiap korbannya.

Aku menatap hampa pada pemuda dengan wajah tak sabaran dan frustasi, seharusnya ada kebencian juga ada kemarahan tapi entah mengapa ada rasa kasihan yang tak dapat kujelaskan. Apa yang dia lakukan terhadap gadis kecilku? Apakah dia tidak punya ibu? Apakah dia tidak punya saudara perempuan? Hingga demikiannya tega melakukan perbuatan laknat seperti ini.

***

“…bolehkah aku diberi kesempatan bicara?” pemuda itu setengah berteriak “bisakah kalian tidak hanya memandang dari sudut pandang gadis yang menganggap dirinya korban?” Pemuda itu terlihat tampan, tapi sedikit berantakan, satu yang kuperhatikan, alih-alih menatap anak gadisku, dia lebih berminat untuk terus menerus menatapku. Aku menyadari matanya tak lepas dari diriku, membuatku kikuk, risih dan tentunya bertanya-tanya.

Lagi-lagi sebuah pukulan telak mendarat di wajah si pemuda, sekarang suamiku nyaris mematahkan tulang hidungnya. Pemuda itu sedikit meringis tapi dia tetap tak menunjukkan tanda-tanda penyesalan.

“Daniel, sepertinya masalah ini memang harus di selesaikan oleh pihak yang berwajib” Damar, ayah dari Sheza yang harus buru-buru tiba di rumahnya karena kasus ini, menyarankan hal yang terbaik menurut pandangannya. Aku pernah berada di posisi ini dan ketika kamu menjadi korban maka hanya ada satu hal yang kamu inginkan, melakukan penyangkalan, bahwa hal ini tak terjadi, bahwa hal ini hanya mimpi.

“Aku ingin membunuh bedebah kecil ini” Kegeraman suamiku telah diambang batas, dia meludah ketika memandang wajah si pemuda. Ada rasa iba saat kulihat wajahnya tak berdaya, dan tanpa pembela. Apa yang terjadi padaku? Putrikulah korbannya!

***

Di sofa, Aimee, didampingi dua sahabatnya; Nikita dan Sheza terlihat seperti manekin dalam toko yang lama tak dikunjungi pembeli, wajah mereka … tidak menunjukkan wajah sedih hanya tumpukan kebosanan. Berkali-kali aku memilih untuk menatap lama pada wajah si pemuda, yang bisa kubaca, pemuda itu terlihat seperti bangkai anjing yang dikerumuni lalat, seluruh mata di ruangan ini memandangnya dengan jijik,  menatapnya juga membuatku…mual…tapi juga…membuatku…ini hanya perasanku saja yang sedang kebingungan, aku segera membuang pikiran yang tak seharusnya menghampiri otakku yang sedang kacau seperti sekarang.

Tiba-tiba keheningan itupecah “Semuanya terjadi begitu cepat” Sheza mengangkat bicara “semuanya gara-gara aku, tidak ada pesta tidak ada pemerkosaan seandainya aku ..tidak begitu bodoh” dia berbicara juga menangis.Semua mata yang ada dalam ruangan menuju pada tubuh mungil yang gemetaran.

“Aku rasa apa yang kita saksikan tak seperti yang terlihat” Sheza menangis, air matanya mulai menderas. “Bolehkah kukatakan satu hal…okay aku lesbian! Dan apa yang kulakukan sekarang hanyalah menuruti kemauan Aimee yang ….dia berdusta! Aku tau siapa dia, sebelumnya kita…percayalah padaku segalanya tak seperti yang terlihat, Aimee mengancamku! Dan pesta ini hanya untuk menyenangkan Aimee dia ingin agar…ini Cuma masalah sepele remaja, aku hanya ingin mengatakan satu hal, aku benci dibawah tekananmu A!”

Aku tak mengerti dengan keadaan ini.

“Ini tak lebih dari skenario penuh kebohongan! Bolehkah aku mengatakan yang sebenarnya sekarang?” Sheza setengah berteriak.

Shut up, bitch!” Nikita tiba-tiba berteriak, ada apa dengan gadis-gadis ini. Mereka kehilangan tata krama ataukah kami para orang tua yang tak pernah mengajarinya?

“aku yakin tidak ada pemerkosaan, tidak ada…dan Papa…aku seorang lesbian ini adalah sebuah pengakuan, karena aku lelah dengan banyak ancaman dari mereka yang kusebut teman, jujur aku tak tahan” Sheza bergetar, tubuh mungilnya terlihat rapuh, ayahnya yang seorang single parent agak tak bisa dengan mudah memahami apa yang terjadi pada putrinya, dimana garis merah dari masalah.

Semuanya serba membingungkan sekarang, karena sekarang Aimee yang terlihat bagai mayat hidup mampu melakukan hal yang di luar dugaanku. Dia berteriak!

“Aaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrgghhhhhhtttttt!!!!!!!”

“Berhentilah berdusta A!” Sheza berteriak “Sudah saatnya elo bilang ke semua orang kalo … dengarkan aku” Sheza menatapku, dan datang padaku menggenggam tanganku “Aimee perlu perawatan kejiwaan” itu terdengar seperti pukulan yang menghantam

Aimee entah mengapa tertawa, aku tak bisa memahami semuanya sekarang.

“Percaya padaku,sebelum terlambat! Aimee punya masalah mental dan juga obat-obatan” hanya itu yang dikatakan oleh Sheza sebelum dia meninggalkan ruangan yang sedari tadi terasa mencekam. Di belakangnya ayahnya mengikutinya, juga saudara laki-lakinya.

Sebenarnya ada apa dengan semua ini? Apa yang terjadi pada putri yang tak lagi kukenali.

Aku dan suamiku juga si pemuda dan Nikita yang berada di sini, hanya terpaku, lidah kami terasa kelu, dan tubuh kami seperti membatu.

“Jika kalian ingin percaya…aku tak melakukan apa-apa” si pemuda yang sedari tadi ingin mendapatkan kesempatan bicara akhirnya membuka kata “Nama saya Rakendra, senang berkenalan dengan keluarga baru anda, ibu Zara” Kalimat itu sederhana, dan seharusnya mudah dicerna, tapi aku terlalu lama mengolah kata perkata itu dalam otakku dan setelah pemuda itu pergi, melangkah meninggalkan pintu, entah mengapa hatiku mulai mengerti dan membaca apa yang terjadi, auranya mengingatkanku pada … bukan siapa-siapa hanya diriku, tatapan mata itu tatapan mata yang sama yang kumiliki dan juga putriku miliki…dan namanya adalah Rakendra, sebuah nama yang sama yang pernah kusematkan pada anak laki-lakiku yang kubiarkan pergi dari hidupku. Anak laki-laki yang hingga kini masih kucari. Setelah dia pergi, aku tak tau harus bagaimana lagi segalanya terasa perih.

Seperti meteor yang menghantam bumi, ledakan itu datang bertubi-tubi, membakar dan menghancurkan, meninggalkan kepingan dan serpihan yang satu persatu harus kususun agar aku bisa mengerti keadaan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline