Lihat ke Halaman Asli

Kisah Fitrah Tentang Janji Galih (1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: di sini

Aku melihat gadis kecilku di teras rumah tetanggaku. Nampaknya gadis kecilku tengah memegang sebuah alat tulis serupa spidol berwarna biru. Gadis kecilku tengah memandang wajah anak tetanggaku yang usianya lebih mudah dua tahun dari usiaku. Gadis kecilku mengangguk saat si anak tetanggaku mengatakan sesuatu yang tak terdengar oleh telingaku. Mereka bertukar senyum penuh pengertian. Nampak gadis kecilku mengangguk, tersenyum, tertawa pelan, dan menulis. Lalu mengangguk, tersenyum, tertawa, menulis dan tertawa terulang lagi. Mereka terlihat akrab, mereka terlihat bahagia bersama.

Rumahku dan rumah tetanggaku terpisah oleh jalan kecil selebar dua depa orang dewasa dengan aspal ala kadarnya yang tercampur pasir dan tanah. Ada selokan kecil di masing-masing sisi jalan tepat di depan rumahku dan tembok depan rumah tetanggaku —membatasi halaman rumahnya yang dihiasi oleh tanaman-tanaman hias. Aku hanya mengenal satu tanaman itu; Kamboja Jepang yang kata mereka itu bernama Adenium.

“Abel, mamak pergi dulu.” Teriakku, gadis kecilku tak mengangkat wajahnya, dia sedang menulis atau menggambar kurasa. Si anak tetanggaku mengangguk padaku. Dia tak tersenyum dan bahkan wajahnya tak menampakkan ekspresi apapun. Aku balas mengangguk dan segera menyalakan motor matic-ku yang masih akan lunas bertahun-tahun lamanya. Aku akan berangkat menuju beberapa tempat, guna mencari beberapa rupiah. T-shirtku yang panas dan tak nyaman menunjukkan apa pekerjaanku. Gambar cangkir kopi dan lambang hewan yang dipinjami nama demi gengsi si kopi terlihat di sana, sebagai labelku. SPG—Sales Promotion Girl. Girl? Berarti gadis, wanita muda yang belum menikah. Tapi, bukan itu statusku. Aku perempuan menikah dengan seorang putra delapan tahun dan gadis kecil berumur empat tahun. Gadis? Aku tak lagi disebut begitu sejak usiaku empat belas dan tak lagi perawan. Gadis? Aku tak pantas lagi disebut begitu sejak aku menikahi laki-laki tujuh belas tahun di saat kehamilanku menginjak bulan ke delapan. Hanya beberapa bulan sebelum aku berumur tujuh belas. Gadis? Mengapa menjadi gadis terlalu singkat buatku?

Bulan Juli di kota bermatahari tujuh tak terlalu panas buatku. Walau, kulihat di kiri dan kananku tengah mengeluh dengan gaduh. Mereka yang bersama denganku tengah menunggu si merah berubah menjadi hijau nampak menghapus peluh. Panas? Aku pernah merasakan yang lebih panas dari ini 40 hingga 42 derajat ini hanya sekitar 37 atau 38 derajat kukira. Aku bahkan pernah merasakan panas yang begitu panas, menempel di kulit dan meninggalkan bekas. Lupakan! Tapi, tentu saja tak mungkin terlupakan.

Kulajukan motorku tapi hatiku tertinggal pada gadis kecilku yang naasnya mengacuhkanku. Sementara, pikiranku seolah menjadi bagian yang lepas dariku. Mengkhianatiku, menuruti kemauan hatiku yang tak ada habisnya menyesali mengapa ini yang menjadi jalanku. Seandainya dan tentu saja tak mungkin. Tapi jika aku boleh berkhayal, seharusnya di sana pernah ada seseorang yang menyelamatkanku. Bertahun-tahun lalu saat aku masih seusia gadis kecilku.

***

Terekam jelas, saat aku memandang tubuh tinggi besar berwajah kaku yang adalah bapakku. Mana kutahu jika itu adalah kali terakhirku melihatnya. Aku diminta melambaikan tangan, dadah-dadah. Bukankah anak-anak kecil melambai-lambaikan tangan dengan gembira? Tapi kenapa ibuku bercucuran air mata? Kala itu usiaku empat tahun, dan aku belum memahami bagaimana perpisahan bisa menyakitkan. Dan sejak saat itu aku dan ibu mulai hidup dalam kosongnya harapan dan penantian yang berkepanjangan.

***

“Fitrah berarti suci.” Tetanggaku yang kupanggil bi Tata tengah memberitahu arti namaku. Usiaku waktu itu enam tahun. Aku sudah sekolah TK, sekolah berarti belajar tapi di TK kami hanya bermain-main. Di tamannyapun cuma ada jungkat-jangkit dan ayunan, pernah ada perosotan tapi saat perosotan itu belum terpasang kuat dan anak bandel yang membangkang menaikinya lalu kakinya patah, perosotan itu tak pernah dipasangkan. Saat itu tahun 1993, aku sedang berada di kamar tetanggaku. Bersama bi Tata dan anak-anaknya; Galih yang seusia denganku, Shita yang cantik dan bayi Pijar yang masih merah. Bi Tata baru saja melahirkan dan dia baik sekali mau memperlihatkan bayinya dan mengajakku berbaring di kamarnya yang nyaman.

Bi Tata seusia ibuku, tapi suaranya lebih pelan, selalu tersenyum, gerakannya halus dan tak pernah berteriak. Bi Tata ingin sekali kutukar dengan ibuku yang akan memukulku dengan kayu jika aku ingin ini dan itu. Terkadang aku ingin punya sesuatu yang sama yang dimiliki oleh teman-temanku. Tapi, tentu saja aku tak bisa memiliki apa yang mereka miliki. “Mereka punya bapak yang bisa memberi ibu mereka uang. Dan kau hanya punya ibu tukang cuci yang harus banting tulang!” Ibu akan berteriak dan wajahnya merah, terkadang  sapu lidi atau kayu mampir mengenai tubuhku. Pukulan-pukulan itu memberi pelajaran, apapun yang kulakukan pada akhirnya aku tahu akibatnya.; hanya sebuah pukulan. Seiring berjalan waktu aku melakukan banyak kesalahan dan yang kutahu aku sudah terbiasa dengan hukuman yang hanya pukulan yang akan membuat tubuhku lebam.

***

“Setidaknya kamu masih punya ibu, Rah.” Kata Galih, tangan mungilnya tengah memilin kabel kecil berwarna biru dan ungu. Kedua kabel itu nantinya akan terjalin indah menjadi gelang-gelang lucu. Galih menjual gelang-gelangnya di sekolah dan di tempat kami mengaji seharga dua ratus lima puluh rupiah. Galih, kala itu usia kami sembilan tahun dan lihat apa yang dia lakukan? Alih-alih merepotkan dia memiliki penghasilan.

“Tapi, mungkin jadi yatim piatu lebih baik.” Kataku cepat.. Separuh hatiku menginginkannya separuh lagi, sejujurnya aku tak ingin itu terjadi. Tak memiliki bapak dan juga ibu, entah bagaimana rasanya. “Oliver Twist? Anak-anak Baudellaire? Para bocah di Neverland? Akupun bertanya-tanya di mana orang tua Oki dan Nirmala tapi setidaknya mereka memiliki kehidupan di negeri dongeng yang indah dan ada ratu bidadari yang ... apakah bidadari itu seperti dia? Mereka kadang sedih tapi cerita hidup mereka, petualangan mereka. Kau tahu kan betapa hebatnya mereka?” celotehku.

Galih tertawa. Dia pasti menghina kebodohanku. Ya, itu tidak sopan. Tapi, karena Galih cerdas maka aku tak boleh tersinggung. Itu hal yang pantas. “Itu gara-gara kamu! Kamu menceritakan padaku semua buku yang kamu baca,” karena dia telah menghinaku maka aku boleh melempar kesalahan padanya.

“Itu supaya kamu suka membaca, Fitrah! Kau pikir kenapa aku repot-repot menceritakan banyak kisah untukmu. Agar kamu tertarik dan mulai membaca.” Dia menjawab dengan gregetan. “Bukan menjadi seperti tokoh dalam buku itu, mereka hanya cerita tak ada di dunia nyata.”

“Tapi, aku lebih suka mendengar cerita itu dari kamu daripada harus membacanya.” Aku tertawa dan tahu bahwa dia benar. Membaca tak mudah buatku, aku tak tertarik dengan buku. Buku membuatku bosan dan mengantuk. Lagipula cara membacaku payah. Aku tak tahu bagaimana nada yang tepat untuk kalimat yang dihiasi tanda seru atau tanya, serta apa fungsi tanda titik dan koma. Membaca, aku tak tahu apa gunanya. Jika aku bisa mengetahui ceritanya dari bibir temanku.

“Membaca itu berguna Fitrah,” katanya meyakinkan, dia melepas gelang setengah jadinya dan menatapku. Aku suka binar matanya yang bening menunjukkan betapa cerdasnya dia. Dia cerdas dibanding anak-anak kampung ini. Di TK dulu dia ikut lomba pidato memakai baju dokter dan ada stetoskop yang dikalungkan di lehernya dengan gaya. Di kelas tiga dia ikut lomba mengarang, bikin puisi dan mewakili sekolah untuk acara-acara yang membuat bangga guru dan orang tua. Aku iri padanya tapi ... ah sudahlah.

“Membaca adalah pekerjaan anak yang tak punya teman. Aku tak suka sendirian!”

“Tapi buku takkan kemana-mana. Buku takkan meninggalkanku seperti teman-temanku. Buku tidak seperti mainan lainnya, ada menang-kalah. Buku membuatku selalu menang karena dia memberitahuku apa yang ingin aku tahu.”

“Kamu, buku-buku dan majalah Bobomu. Kalian payah!” aku berteriak.

Galih mengangguk-angguk pelan dan ragu. Dia mengancing kancing atas piyamanya yang longgar.

“Kamu benar. Aku tak bisa melompat tali setinggi kepalamu. Aku tak bisa menang main kartu kwartet, aku selalu ketahuan pas main petak umpet. Aku cuma bisa diam dan membaca, karena ... aku payah. Aku mimisan main di saat panas. Aku batuk-batuk jika minum es lilin. Aku langsung demam kalau terkena hujan.” Ada nada sedih di suaranya. Dia mudah sakit dan mudah lelah. Aku ingin minta maaf tapi tak kulakukan. Galih, dia hanya anak sombong. Dia mungkin anak yang baik tapi dia juga membosankan.

Aku iri padanya karena dia memiliki banyak yang tak kumiliki. Seandainya bisa menukar kehidupan dengannya. Takkan pernah! Betapa menakutkannya diajari matematika oleh bapaknya yang galak. Betapa repotnya harus sakit berhari-hari dan sering sekali. Betapa sepinya jika harus melewati banyak waktu sendiri. Betapa tak enaknya harus berbagi dengan adik-adik—tapi dia selalu memiliki semua yang lebih bagus dari milikku. Tapi dia memiliki ibu yang seandainya ibuku bisa seperti itu.

“Fitrah, suatu hari nanti ... aku janji aku akan menulis buku cerita dan kamu adalah tokohnya.”

Itu cuma janji seorang anak kecil dan yang kusadari bahwa tidak semua janji bisa ditepati.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline