Lihat ke Halaman Asli

Singkirkan Gadget Jutaan Rupiah, Kenalkan Anak pada Sejarah

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13765707901347783382

[caption id="attachment_272498" align="alignleft" width="640" caption="Candi Sambisari, Yogyakarta"][/caption] “Mah, nih aku udah bisa nyelesain game angry bird sampai level terakhir?”

“Pah, besok beliin android baru ya. Kaya punya papa. Biar bisa facebookan, twitteran, sama main path”

Itukah celetukan putra-putri Anda di usia sekolah dasar ? Tak lagi bermain petak umpet atau lompat tali. Namun sangat suka membuat status dan ngobrol di media social. Atau gemar memainkan permainan zombie and plants di sebuah alat canggih berbentuk papan ukuran 10 inchi, atau 7 inchi?

Menggeser trackpad pada telepon genggam canggih yang disebut blackberry. Atau sibuk berfoto ria dengan menenteng android dan kemudian menguploadnya ke path. Zaman memang semakin maju, alat komunikasi semakin canggih. Beberapa tahun lalu, sering kita dengar ungkapan “dengan kecanggihan teknologi dunia berada dalam genggaman”. Itulah yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Saat blackberry mulai muncul, disusul dengan ipad, iphone, dan populernya android.

Tak hanya kalangan orang dewasa yang menenteng alat telekomunikasi canggih tersebut. Di kota-kota besar, ipad dan tablet berbagai versi menjadi teman bermain anak-anak. Mulai usia pra sekolah hingga remaja. Bahkan ada beberapa ibu yang malah menyodorkan telepon genggam mereka sebagai mainan baru bagi anak balitanya yang mulai tumbuh.

Semua ini fenomena yang terjadi sekarang. Sekitar tujuh tahun lalu, saat play station marak. Berbondong-bondong orang tua menyediakan alat bermain ini di rumah. Dengan dalih menyenangkan hati anak dan membuat mereka betah di rumah. Bisa memberikan sesuatu yang mahal kepada putra-putrinya menjadi kebanggaan orang tua.

Banyak kabar miring yang terjadi di luar Indonesia tentang dampak buruk teknologi yang diberikan secara berlebihan dan tak pada waktunya. Seorang anak balita di Cina telah kecanduan bermain internet. Ia memang ahli mengoperasikan computer, tapi tak punya kemampuan menulis dengan tangan.

Bahkan menurut Daily Mail secara lisan telah terkikis, karena baik orang dewasa maupun anak-anak belajar banyak hal dari depan layar. Marco Catani, seorang instruktur psikiater di London mengatakan bahwa internet, telepon genggam, dan computer tablet membuat kita jarang bercakap-cakap secara lisan. Anak-anak belajar lewat gadget. Sehingga mereka lebih visual daripada auditory. Akibatnya, anak-anak akan menguasai sedikit kosa-kata dibanding generasi sebelumnya.

Komputer dan internet yang digunakan secara konstan, membentuk pribadi anak yang egois, tidak fokus, dan puas pada busaya instan. Anak tak lagi terbiasa berinteraksi dengan benda hidup. Tidak mengenal individu lain yang memiliki ragam sifat dan latar belakang. Sehingga sikap toleransi dan tenggang rasa tidak terasah dengan baik.

Itu hanya segelintir efek buruk dari pribadi yang dibentuk oleh teknologi. Dampak nyata yang bisa dilihat ketika anak dijejali teknologi canggih terlalu dini adalah obesitas. Kurangnya kegiatan yang membuat anak bergerak menyebabkan karbohidrat dan lemak yang terkandung dalam makanan tidak terbakar dengan baik. Akibatnya kegemukan menjadi teman baik mereka, yang diikuti dengan mudahnya terserang penyakit.

Tapi apakah kebiasaan ini yang harus terus dipelihara oleh para orang tua modern? Membuat anak mereka terkungkung dalam kecanggihan zaman. Akan tetapi lupa dengan apa yang ada di sekitar mereka?

[caption id="attachment_272499" align="alignleft" width="300" caption="Seorang ayah sedang mengunjungi Candi Sambisari bersama anaknya, Yogyakarta"]

137657095133884454

[/caption] Saat lebaran Agustus 2013 lalu, saya mudik ke Jawa Tengah. Menyempatkan berlibur ke Yogyakarta dan daerah sekitarnya. Kota pelajar yang selalu menarik hati dan bagai magnet untuk membuat saya kembali. Kenapa? Karena selain tenang dan nyaman. Yogyakarta memiliki ratusan candi yang selama ini membuat saya terkesima. Mulai dari Prambanan, Borobudur di Muntilan dan candi-candi lainnya.

Mampir mengunjungi Candi Sambisari yang letaknya menjorok dari permukaan tanah. Dulu candi ini ditemukan oleh petani yang sedang membajak sawah.

Tak sengaja saya melihat keluarga yang melakukan kunjungan wisata di Candi tersebut. Ayah dan ibu membawa serta kedua anaknya mengelilingi Candi Sambisari. Berfoto bersama dan bercerita tentang candi tersebut.

Sejak dini orang tua telah memperkenalkan sejarah Indonesia, dimulai dengan mengunjungi candi-candi yang dibangun oleh nenek moyang bangsa ini. Hanya bermoal Rp 2000 untuk tiket orang dewasa dan Rp 1000 untuk anak-anak. Bayangkan, kurang dari 10 ribu rupiah, orang tua tersebut telah mengenalkan sejarah pada anak-anak mereka. Tak perlu pergi ke luar negeri dengan bekal uang jutaan rupiah. Orang tua tersebut memperkenalkan teknologi yang tumbuh di masa lalu. Bagaimana leluhur membangun sebuah candi dengan ilmu dan teknologi di masa itu. Bagaimana orang zaman dahulu membuat bangunan yang karyanya masih bisa dinikmati hingga berabad-abad kemudian.

Jika harus mengambil kalkulator dan berhitung, berapa biaya yang harus Anda keluarkan untuk membeli gadget baru? Dibanding mengunjungi museum, monument, candi-candi, atau pasar-pasar tradisional di kota Anda tinggal?

Membuat anak pandai dan berilmu tak harus dengan menjejali mereka dengan gadget jutaan rupiah. Jalan-jalan mengunjungi tempat wisata murah di sekitar tempat tinggal atau rumah Anda, bisa menjadi pilihan untuk mengenalkan negeri ini kepada generasi muda.

Ayo para orang tua, mulai sekarang berikan porsi yang semestinya untuk anak Anda dalam mengkonsumsi teknologi. Dan mulailah, mengunjungi wisata budaya dan mengenalkan sejarah Indonesia. Untuk menunjukkan begitu kayanya bangsa ini.

Penulis aktif mengisi di www.geonation.org




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline