"Ayo semuanya pindah ke mobil depan," kami diminta turun. Setelah melewati padang yang sedang cantik-cantiknya, mobil yang kami tumpangi berhenti. Jalan setapak tanah menyempit dan berbatu-batu terlihat di depan. Kami segera naik ke mobil pick-up 4X4 yang berada di depan, satu-satunya kendaraan yang mampu membawa kami ke tempat yang hendak kami tuju. Berdesakan di bak belakang, kami dengan segera mencari pegangan.
Perjalanan menyusuri lereng perbukitan itu memang sulit. Sesungguhnya separuh jalan yang kami lalui bukan "jalan", hanya sedikit ruang kosong penuh ilalang tinggi yang kadang dilewati orang. Pantas saja hanya mobil tertentu (dengan sopir tertentu pula) yang bisa melewatinya.
Pisah Kadang yang Terbaik
(mohon maaf jangan baper dulu)
Hari itu kami bertamu ke Kamanggih, sebuah desa di Sumba Timur. Nusa Tenggara Timur, termasuk di dalamnya Sumba, adalah provinsi dengan rasio elektrifikasi di bawah rerata nasional. Akses energi di provinsi ini memang masih jauh dari cukup. Sumba adalah salah satu pulau terdepan di Indonesia, dan di negeri ini, terdepan belum tentu berima dengan kemajuan. Hingga saat ini, setengah Sumba belum berlistrik.
Tantangan geografis adalah tantangan paling berat untuk membuka akses energi di Sumba. Dengan kontur wilayah berbukit, banyak padang, dan sedikit sumber air; penduduk Sumba tinggal berkelompok berjauh-jauhan. Jarak yang jauh ini menyulitkan masuknya jaringan listrik karena biaya perpanjangan jaringan listrik menjadi sangat tinggi sehingga tidak sesuai dengan skala keekonomian PLN.
Lalu bagaimana? Mau nunggu sampai pintu kemana saja ditemukan?
Beruntungnya Sumba punya banyak potensi energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan. Sungai yang deras bisa menjadi jawaban, begitu pula panas matahari dan angin di puncak bukit-bukit. Potensi inilah yang dilihat bisa menyediakan energi bagi Sumba, termasuk listrik. Bila jaringan listrik PLN belum bisa masuk, solusi off-grid (luar jaringan) menjadi pilihan. Tak harus bersatu (dengan jaringan PLN), apabila terpisah memang lebih baik.
Sistem off-grid memang secara harfiah berarti di luar jaringan. Di Pulau Jawa hampir semua rumah terhubung ke jaringan listrik yang terhubung ke pembangkit skala besar di beberapa titik. Sistem ini disebut on-grid. Jika satu pembangkit listrik mati (katakan pembangkit listrik Paiton), rumah dalam sistem on-grid masih bisa mendapatkan listrik dari pembangkit lain (misalnya dari PLTGU Muara Karang). Sementara itu sistem off-grid berdiri sendiri, umumnya dengan sumber energi lokal, dan melayani jumlah 'pelanggan' yang jauh lebih sedikit (misalnya hanya satu rumah atau satu desa). Bila sumber energinya mendadak tak ada, misalnya debit air sungai berkurang, listrik juga tak tersedia. Karena sendiri ini, sistem off-grid juga cocok disebut sistem jomblo.
Membelah Perbukitan
Saat kami turun dari mobil, kami dikelilingi ilalang dan pepohononan yang rapat. Di ujung trunan jalan setapak yang sedikit terjal, terlihat sungai mengalir deras di bawah. Sungai Mbakuhau namanya. Aliran sungai yang cukup deras inilah yang menjadi berkah untuk Kamanggih. Berkah untuk membangun pembangkit listrik off-grid.