Lihat ke Halaman Asli

Marlistya Citraningrum

TERVERIFIKASI

Pekerja Millennial

Membungkus Cerita di Teluk Jakarta

Diperbarui: 27 Oktober 2015   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Citra, kamu cuma bawa tas itu aja?", Mbak Puspa, salah satu peserta Blogtrip Kompasiana dan Kementerian Pariwisata ke Pulau Bidadari bertanya. Bawaan saya untuk blogtrip dua hari satu malam itu memang cuma satu tas merah muda bercorak kartun yang mirip tas anak TK.

Saya tersenyum dan mengangguk. Terbiasa bepergian, saya memang tak mau repot dengan bawaan. Travel light, bahasa internasionalnya. Selain karena ringkas dan tak merepotkan, travel light membuat saya bisa fokus dengan tujuan saya bepergian dan apa yang hendak saya bawa pulang.

Bukan buah tangan, bukan swafoto segudang; melainkan sebanyak-banyaknya cerita dan momen berkesan.

Tak Ada yang Kebetulan

Menurut ilmu matematika, yang namanya kebetulan itu sebenarnya sebuah hasil dari berbagai peristiwa yang bisa diperkirakan terjadinya. Entahlah, saya orang teknik kimia, bukan matematika. Yang pasti, saya merasa alam semesta sedang asyik bermain satu tema dengan saya: bahari. 

Sabtu, 10 Oktober 2015. Saya termangu di bandara Soekarno-Hatta, menanti penerbangan saya ke Kupang. Delapan hari ke depan, saya disuguhkan dengan pesona Nusa Lontar. Jika sebelumnya saya hanya mengenal Rote sebagai salah satu kepulauan terdepan di Indonesia, hari itu, hari-hari selanjutnya, saya disuguhkan pesonanya. Salah satu pesona Indonesia yang hampir selalu disebut-sebut adalah kekayaan baharinya. Dan Rote salah satu buktinya.

Mengejar senja dan menyelam sejuta pesona di Nusa Tenggara itulah yang kemudian membawa saya menjadi satu dari 20 peserta Blogtrip Kompasiana dan Kementerian Pariwisata ke Pulau Bidadari. Lihat, bagaimana cerita dan momen yang saya bawa sebagai oleh-oleh dari Nusa Tenggara ternyata membawa saya pada sederetan momen dan cerita lain di Teluk Jakarta. 

Maka izinkan saya untuk berbagi bungkusan cerita dari Pulau Kelor, Pulau Onrust, dan Pulau Bidadari. Pulau dan pantai yang tak hanya menjanjikan senja dan lembayung dini hari.

Pulau Bidadari: Rumah Nan Asri, Lampau Bertemu Kini  

Pulau Bidadari. Namanya yang cantik seakan hendak menutup sejarahnya yang panjang. Justru tak ironis, bagi saya sebutan bidadari mengisyaratkan pesona yang mengundang. Apa yang menarik dari pulau yang hanya berjarak setengah jam dari Jakarta ini?

Jakarta pulau, begitu orang menyebut. Iya, Pulau Bidadari dan sekitarnya masih merupakan wilayah Jakarta, maka satu sebutan Jakarta darat dimaksud untuk menyebut ibukota di pulau Jawa, sedangkan Jakarta pulau adalah gugusan di Kepulauan Seribu. Pesona pertamanya ada di nama yang sama dengan ibukota yang identik dengan padat kendaraan dan hari-hari tak bersahabat. Pulau Bidadari ramah menyapa. Jakarta pulau menawarkan sisi lain ibukota.

Di pulau ini, saya berkenalan dengan martello (disclaimer: bukan nama mas-mas bule). Di Pulau Bidadari terdapat reruntuhan menara yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda. Menara melingkar dengan ukuran yang tak terlalu besar ini disebut Menara Martello. Usut punya usut, martello adalah sebutan untuk benteng berukuran kecil yang menurut sejarah mulai dibangun oleh Kerajaan Inggris di semua daerah kekuasaannya, dan kebanyakan merupakan coastal forts, benteng yang terletak di pantai untuk fungsi pengawasan dan perlindungan. Inspirasi Inggris membangun martello ini adalah sebuah benteng di Corsica: Terra di Mortella.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline