Lihat ke Halaman Asli

Marlistya Citraningrum

TERVERIFIKASI

Pekerja Millennial

Turis vs Traveller, Vacation vs Travelling

Diperbarui: 8 Juli 2015   11:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di laman Facebook saya beberapa hari ini banyak beredar infografis mengenai Tourist vs Traveller. Berhubung saya agak susah mengalihbahasakannya, maka izinkan saya tetap menggunakan kata traveller, ya.

Inti dari infografis tersebut adalah mengenai perbedaan karakter antara turis dan traveller. Menurut infografis tersebut, turis adalah mereka yang mengedepankan kenyamanan dalam bepergian, dilihat dari moda transportasi, pilihan tempat menginap, juga tentang pilihan aktivitas, misalnya mengunjungi tempat wisata yang dibilang mainstream. Sedangkan traveller adalah mereka yang gaya perjalanannya biasa cenderung ke praktis dan low budget, juga berorientasi pada aktivitas selain "hanya" berkunjung, misalnya skydiving.

Oke, turis dan traveller memang berbeda. Karena memang berbeda, so what?

Sama halnya dengan saya yang tingginya cuma 159 cm atau pacar saya yang 174 cm, perbedaan itu ya memang sesuatu yang wajar dan tidak perlu diperdebatkan. Yang lucu dari fenomena tourist vs traveller ini adalah ada satu pihak yang sering mengutarakan klaim bahwa gaya jalan-jalannya lebih baik daripada yang satunya. Yang turis mencemooh traveller karena jalan-jalan seadanya, yang traveller mengecela turis karena dianggap tidak mau keluar dari zona nyaman.

Mudah saja memahami perbedaan ini. Paling dasar tentu budget. Suka tidak suka gaya perjalanan kita ditentukan oleh ketersediaan dana. Jika disuruh memilih mau naik business class atau coach (kelas ekonomi), ya jelas saya maunya naik business class, dong. Apalagi untuk perjalanan jauh, kenyamanan penerbangan menentukan mood kita di tujuan. Jadi kalau berduit, pilihan moda transportasinya lebih banyak. Pilihan yang lebih banyak ini juga mempengaruhi bagaimana kita membawa barang: koper segambreng atau backpack ringkas. Kalau setelah naik pesawat bisa naik mobil, ya tentu koper bisa jadi lebih dipilih. Jika masih harus naik bus, kereta, atau bahkan tuk tuk, mana praktis membawa travel bag, iya kan?

Perbedaan karakter orang juga mempengaruhi gaya perjalanannya, termasuk aktivitas apa yang dilakukan. Ada yang lebih suka (dan memilih) untuk bersantai keliling kota Vienna, ada yang maunya bungy jumping setinggi 233 meter di Macau. Ada teman saya yang hobinya menikmati museum, jadi ketika bepergian, tujuan utamanya adalah keliling ke berbagai museum di kota yang dituju. Ada teman saya yang selalu lapar, eh, maksudnya hobi makan, sehingga selalu menjadwalkan wisata kuliner meski tempat yang dituju itu membuat pusing kepala karena warung makannya nyelip entah di gang mana. Masing-masing orang punya definisi kebahagiaan sendiri terkait perjalanan mereka, jadi mudah saja memahami bahwa kita berbeda, bukan? Saya sudah bahagia dengan naik motor sepanjang poros Majene-Mamuju, menikmati matahari sore yang berkilauan.

Ada lagi tentang teman perjalanan. Katanya turis selalu beramai-ramai, sedangkan traveller cenderung sendirian. Ini juga preferensi pribadi. Saya suka bepergian dengan grup kecil karena saya lebih suka lalala yeyeye alias go show ketika bepergian, jadi agak sulit jika orang yang serba teratur ikut bepergian dengan saya. Ada juga yang teman-temannya memang banyaaaaak, jadi semakin asyik jika melakukan perjalanan bersama. One way or another, ini bukan masalah mana yang lebih baik. 

Poin yang paling penting justru mengenai kemutlakannya. Kecuali memang sudah fanatik dengan gaya perjalanan tertentu, kebanyakan orang justru menjadi kombinasi turis dan traveller. Bisa dalam satu kali perjalanan, bisa dalam perjalanan berbeda. Ada yang bulan ini jalan-jalan ala traveller ke Raja Ampat untuk mengimbangi mahalnya tiket pesawat ke sana, lalu bulan depannya jalan-jalan gaya turis ke Eropa karena kebetulan ada short course di Amsterdam. Dengan mengalami keduanya justru pengalaman kita lebih kaya, bukan?

Vacation vs Travelling

Kemudian saya ingat mengenai perbincangan saya dengan seorang teman mengenai vacation vs travelling. Kedua kata ini kalau dialihbahasakan menjadi liburan dan perjalanan, namun karena kebanyakan travelling juga dilakukan saat hari libur, sepertinya akan menjadi ambigu. Jadi izinkan saya tetap menggunakan bahasa aslinya.

Nah, perbincangan saya dengannya itu menggarisbawahi tujuan dari vacation dan travelling yang berbeda. Kami sepakat bahwa travelling adalah tentang "menggunakan otak", dan vacation justru meringankan kerja otak (baca: menenangkan pikiran). Maksudnya "menggunakan otak" adalah berpikir, karena esensi travelling adalah tentang mencoba hal baru, keluar dari zona nyaman, bertualang. Karenanya proses travelling sendiri berawal jauh sebelum jalan-jalannya dilakukan: melakukan riset, mencari penerbangan murah, bertanya pada banyak orang tentang rute yang aman untuk bepergian sendiri, dan sebagainya. Riset yang dilakukan tak melulu tentang moda transportasi dan tujuan wisata, melainkan juga things locals do, hal-hal apa yang dilakukan orang lokal di sana, karena pengalaman yang berbeda adalah tujuan travelling. Makan ramen berdiri di Tokyo, minum kopi dengan gula batu dengan orang Turki, hingga menemukan bar yang letaknya tersembunyi di balik kafe di Taipei. Travelling juga tentang berpikir untuk menghadapi yang tidak direncanakan, karena seringkali dalam perjalanan kita tiba-tiba terpesona dengan hal baru, ketinggalan bus, atau mendadak berkenalan dengan keluarga ramah yang menawarkan tempat menginap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline