Lihat ke Halaman Asli

Marlistya Citraningrum

TERVERIFIKASI

Pekerja Millennial

Berlari Sendiri Menjelajah Ibu Pertiwi (Dengan Bantuan Kompasianer)

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13886683431328993989

Tahun 2013 berlalu dengan begitu banyak cerita. Dan saya akhirnya pulang, membawa gelar setelah lima tahun berjuang menggapainya. Bahagia, tentu. Gembira, karena akhirnya kembali ke tanah air dan punya kesempatan untuk menjelajah Indonesia (baca: jalan-jalan).

Dengan berbagai sumber informasi dan fasilitas yang sudah banyak tersedia, jalan-jalan kini menjadi sesuatu yang lebih mudah dilakukan. Tak hanya informasi soal tempat tujuan, juga kemudahan memesan tiket dan penginapan. Jalan-jalan di Indonesia memang sedihnya masih sering dianggap sebagai jalan-jalan yang kurang 'wah', apalagi digempur dengan berbagai maskapai yang menawarkan harga murah untuk pergi ke negara-negara tetangga. Banyak orang Indonesia yang memilih berlibur di negara-negara ASEAN yang tanpa visa seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand.

Padahal kalau mau membandingnya keindahan, Indonesia punya banyak. Halong Bay di Vietnam atau Phuket di Thailand, bisa ditemukan di Raja Ampat. Angkor Wat di Cambodia, ada Borobudur di Magelang. Safari di Afrika, Banyuwangi punya Baluran dan Sadengan.

Terhitung sejak awal September hingga Desember 2013 kemarin, saya menjadwalkan jalan-jalan setidaknya sekali sebulan. Tidak lama, 5-10 hari saja. Namanya juga masih dalam masa gap months, saya punya banyak waktu luang untuk jalan-jalan. Jalan-jalan sendiri, solo traveling. Saya memang lebih suka jalan-jalan sendiri, karena saya merasakan bagaimana solo traveling itu memberikan banyak pelajaran yang tidak saya dapat ketika jalan-jalan dengan teman. Selalu mendapat teman baru, cerita baru. Bisa lebih fokus pada apa yang kita lihat dan bukan ngobrol dengan teman. Bisa punya jadwal fleksibel. Bisa mendapat tumpangan dan tour guide gratisan karena selalu disambut dengan 'wah, cewek jalan-jalan sendirian?' yang berlanjut dengan obrolan, cemilan, lalu tawaran untuk menemani. Manis, bagi saya. Kenapa Indonesia? Sedikit malu sewaktu di luar negeri, karena bila ditanya mengenai aset pariwisata Indonesia, pengetahuan saya kurang sekali, apalagi pengalaman. Kalau mau beralasan, saya mengatakan, Indonesia itu buesar, tentulah perlu banyak waktu dan biaya untuk menjelajahinya. Tidak seperti Taiwan yang dari ujung ke ujung  terpanjang jarak tempuhnya "hanya" 6-7 jam.

Tiga bulan berlalu, dan saya baru menjejakkan kaki di beberapa tempat di Pulau Jawa. Banyuwangi, dengan pantai-pantainya yang memukau. Surabaya, yang sarat kenangan dan teman. Semarang, dengan bangunan-bangunan tuanya. Yogyakarta, kota tradisi yang dinamis dengan kulinernya. Borobudur, dengan nuansa paginya yang elok. Rawa Pening, si "laut kecil" yang teduh dan damai. Dataran Tinggi Dieng, si negeri di awan yang bahkan tetap meninggalkan kenangan dalam hujan.

Saya ingin lebih mengenal Indonesia di tahun ini. Sebuah keinginan yang tidak saya sebut resolusi karena jalan-jalan ini lebih sering tercetus tanpa rencana. Go show, kata saya. Rencana bertualang mengenal Indonesia ini tidak hanya karena saya belum pernah 'kemana-mana', lebih lagi tentang menambah pemasukan untuk negara dan masyarakat di sana. Juga bertemu sahabat lama dan berkenalan dengan teman baru.

Berhubung belum berkunjung ke pulau-pulau lain di Indonesia, tahun 2014 (dan tahun-tahun berikutnya) sedianya saya alokasikan untuk jalan-jalan di luar Pulau Jawa. Diterawang dari awal tahun karena dana yang terbatas dan prinsip umum "the slower, the cheaper", semakin lama, semakin murah biayanya (biasanya). Kalau terlalu mahal naik pesawat, bila waktu mencukupi, perjalanan overland bisa menjadi pilihan untuk menghemat biaya.

Karena Indonesia itu luas, destinasi impian tahun 2014 ini 3 saja: Danau Toba, Tana Toraja, dan Raja Ampat.

Sudah memendam keinginan untuk ke Danau Toba sejak dulu, setelah belajar sejarah supervolcano-nya. Tentang bagaimana erupsi yang terjadi sekitar 75.000 tahun yang lalu itu menyebabkan penurunan suhu global dan diperkirakan memusnahkan banyak spesies. Danau vulkanik ini juga memiliki ukuran dan pemandangan yang luar biasa jika dilihat dari ketinggian. Saya selalu suka melihat dunia dari ketinggian, membuat saya merasa super kecil sebagai manusia. Tinggal mengumpulkan uang untuk tiket pesawat, karena ada Kompasianer yang berbaik hati mau 'menampung' saya di Medan.

Tana Toraja, yang terkenal dengan upacara kematiannya. Ketertarikan saya pada Tana Toraja muncul saat SD, membaca sebuah majalah anak-anak yang mengulas mengenai upacara kematian di Tana Toraja dan kubur batunya yang tersohor. Tentang bagaimana kematian dirayakan dengan cara yang kolosal dan unik. Kalau waktunya mencukupi, bisa mampir di Bantaeng, seorang Kompasianer asal sana sudah mengundang (lumayan kan).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline