Lihat ke Halaman Asli

Marlistya Citraningrum

TERVERIFIKASI

Pekerja Millennial

Bila Tersesat Saat “Solo Traveling”

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1336436303762718757

[caption id="attachment_186922" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Tersesat itu, di manapun kejadiannya, biasanya membuat kita panik dan kehilangan orientasi serta konsentrasi. Jika tersesatnya beramai-ramai, rasa panik ini mungkin tidak terlalu kentara karena “dibagi-bagi”. Tapi jika berpergian sendiri, ke kota apalagi negara lain, dan perempuan pula?

Sebagai perempuan yang hampir selalu traveling sendiri, saya sering mengalami ‘kepanikan’ karena kebingungan dengan tujuan. Belum sampai tersesatnya, lebih ketika sampai di titik kesekian sebelum tujuan dan tidak menemukan petunjuk atau tanda untuk menuju titik berikutnya. Untungnya saya termasuk orang yang mudah membaca peta dan memiliki orientasi arah yang lumayan, plus saya ‘muka badak’ alias tidak (tahu) malu untuk bertanya. Itu kenapa saya jarang tersesat (Shinjuku dan Ikebukuro memang pengecualian).

Bila tersesat, kuncinya untuk saat itu hanya satu: jangan panik. Panik mengacaukan sistem kerja otak dan membuat kita hanya kepikiran “duh gimana ini” dan bukan “ayo cari jalan keluar”. Apa yang sebaiknya dilakukan saat solo traveling dan menyadari kita tersesat adalah tetap memasang muka biasa dan sembunyikan kepanikan. Demi keamanan. Namanya juga bepergian sendiri. Berhentilah sejenak, minum air kalau perlu, dan coba berpikir ke arah mana sebaiknya kita berjalan, atau putuskan untuk bertanya. Karena cukup riskan untuk bertanya pada sembarangan orang saat solo traveling, usahakan untuk mencari convenience store seperti 7-11 atau jika ada, kantor polisi. Jika tidak ada, carilah gedung perkantoran yang memiliki satpam. Ini lebih baik dibandingkan dengan bertanya pada random people di jalanan. Jika memang takut, carilah yang jenis kelaminnya sama (terutama perempuan, jika takut bertanya pada laki-laki).

Untuk menghindari kemungkinan tersesat, lakukan simulasi. Simulasi adalah proses yang penting untuk solo traveling, terutama untuk yang pertama melakukannya. Simulasi di sini tidak hanya masalah rute, melainkan juga waktu, biaya, dan rencana cadangan. Saya membiasakan diri membuat simulasi untuk rencana traveling saya, terutama proses transit. Misalnya ketika ke Seoul, simulasi saya seperti ini:

H-1                           : online check-in (untuk menghemat waktu di bandara)

H, 10.00 – 11.00   : kampus – Taiwan Taoyuan Int’l Airport (terminal  1, bus, TWD 125)

H, 12.50 – 16.15   : flight

H, 16.30 – 17.00   : imigrasi Korea

H, 17.00 – 17.30   : find limousine bus to Yeoksam station (to Yeoksam: 1 hr, KRW 15,000) – if no bus, then take Metro.

dan seterusnya.

Juga itinerary yang "komplit" seperti ini. Ingat bahwa dalam solo traveling tidak ada teman berdiskusi dan semuanya harus direncanakan sendiri.

[caption id="attachment_175992" align="aligncenter" width="554" caption="Itinerary saya ke Korea"]

1336414633940074529

[/caption]

Terkesan kaku memang, namun dengan mencantumkan waktu, setidaknya kita bisa memperkirakan kapan kita sampai di tempat tujuan. Simulasi juga termasuk “mempelajari” peta. Banyak peta yang bisa diperoleh dari Google Map, internet, atau buku tentang traveling. Peta memang senjata utama yang tidak boleh kelupaan untuk dibawa. Karena tidak ada teman berdiskusi, peta harus dipelajari terlebih dahulu sehingga kita bisa lebih mudah mengenali petunjuk-petunjuk untuk mencapai tempat yang kita tuju. Mana utara, selatan; belok kiri atau kanan; jalan berapa meter; gedung apa yang dekat dengan lokasi; dan sebagainya. Satu hal yang harus diingat mengenai peta ini adalah: peta tersebut tidaklah selalu peta yang terbaru dari lokasi yang akan kita kunjungi. Jadi ketika sampai di poin B (misalnya, sementara kita menuju ke poin D), selalu sempatkan untuk mengamati sekitar, apakah peta yang kita bawa masih valid atau tidak. Jika tidak, sekali lagi jangan panik, amati apa yang berubah dan buatlah gambarannya di peta lama, lalu perkirakan arah yang benar. Hal kedua yang juga kadang terlupa adalah jarak. Karena ‘terlihat’ dekat di peta, lalu kita mengasumsikan bahwa itu juga ‘dekat’ di dunia nyata. Tidak selalu. Peta yang benar-benar peta (bukan Google Map atau ‘ancang-ancang’ yang diberikan sebuah hotel misalnya) memang memiliki skala, namun kebanyakan peta yang ada di internet adalah gambaran kasar dan tidak mencerminkan jarak sebenarnya. Yang bisa membuat kita tersesat karena belok di blok yang salah, padahal seharusnya di blok berikutnya. Karena itu pack light termasuk hal dasar dalam solo traveling, supaya kita tidak terlalu kerepotan dengan barang bawaan ketika harus ekstra berjalan bila tersesat.

Simpan nomor-nomor penting, misalnya nomor telepon hotel atau kantor polisi terdekat dari tempat tinggal kita selama traveling. Jika daerah/negara yang akan dikunjungi tidak menggunakan huruf Romawi, cetak nama setiap lokasi yang kita perlukan dengan huruf setempat. Orang lokal biasanya memiliki ‘nama tersendiri’ untuk lokasi-lokasi tersebut. Menyebutkan Grand Hotel di Taipei belum tentu direspon karena kebanyakan dari penduduk Taipei tahunya “Yuanshan Da Fan Dian”. Usahakan belajar bahasa setempat untuk menanyakan arah. Ada banyak buku-buku kecil berisi panduan praktis berbahasa setempat (membeli makanan, menanyakan arah, dsb).

Yang mau solo traveling: selamat jalan-jalan, persiapkan diri dengan baik, dan jangan panik bila tersesat!

-Citra *yang tetap pede meski tersesat*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline