Lihat ke Halaman Asli

Marlistya Citraningrum

TERVERIFIKASI

Pekerja Millennial

“Carpe Diem”: Manfaatkan Harimu Sebaik-baiknya

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1331400011431140183

Kalau biasanya sebuah film diangkat dari buku atau novel, buku ini kebalikannya. Baru dituliskan setelah filmnya sukses di pasaran. Dead Poet Society judulnya, mungkin beberapa dari Anda familiar dengan filmnya yang dibintangi oleh Robin Williams.

Bagi yang tidak familiar, Dead Poet Society adalah film tahun 1989, disutradari oleh Peter Weir dan naskahnya ditulis oleh Tom Schulman. Sang penulis naskah mendapatkan penghargaan Academy Awards untuk Best Original Screenplay.

Apa istimewanya kisah ini? Yang umur filmnya tidak jauh beda dengan umur saya?

Dead Poet Society menggarisbawahi kebebasan namun juga komitmen untuk menggapai cita-cita, dengan jargonnya yang terkenal “carpe diem”, diterjemahkan secara bebas menjadi “seize the day” atau “manfaatkan harimu sebaik-baiknya”, meskipun sebenarnya “carpe diem” secara harfiah berarti “what will be, will be”. Keseragaman (atau aturan) adalah hal pertama yang ditonjolkan dalam cerita ini, di mana setting keseluruhannya berada di sebuah prep-school, Welton Academy. Welton menekankan pada 4 pilar utama: tradisi, kehormatan, displin, dan mutu tinggi. Di tengah sekolah yang serba ketat, penuh aturan dan tuntutan ini, datanglah seorang guru bahasa Inggris baru, John Keating, yang diperankan oleh Robin Williams. Si guru baru ini mengajar dengan metode yang sangat berbeda dengan guru lainnya. Jika guru-guru lainnya sangat text book dan syllabus-oriented, memberikan PR bahkan di hari pertama; Keating kebalikannya. Guru nyentrik ini mengajak murid-muridnya untuk belajar di luar kelas, meminta mereka memanggilnya “O Captain My Captain” (merujuk pada puisi Walt Whitman), bahkan menyuruh mereka merobek kata pengantar di buku tentang puisi yang mereka gunakan di kelas.

Pada dasarnya Keating mendobrak paradigma kaku pendidikan di Welton dan membantu murid-muridnya untuk melihat dunia dengan sisi yang berbeda. Di antara muridnya, ada beberapa orang yang menjadi sorotan, di antaranya Neil Perry, Todd Anderson, Knox Overstreet, dan Charlie Dalton. Neil mencintai dunia seni peran, namun ayahnya memaksanya untuk menjadi seorang dokter, yang di kala itu memerlukan waktu bertahun-tahun untuk akhirnya menyelesaikan pendidikan dokter. Todd juga dituntut untuk menjadi seorang pengacara, padahal dia lebih menyukai menulis.

Keating juga adalah alumni Welton Academy, dan di buku tahunan angkatannya, para muridnya menemukan informasi bahwa Keating termasuk dalam komunitas “Dead Poet Society”. Para murid yang penasaran ini memaksa Keating untuk bercerita mengenai komunitas ini, yang ternyata adalah perkumpulan murid-murid yang meluangkan waktu untuk ‘menikmati’ puisi. Ini hal kedua yang saya sukai dari film/buku ini. Bagaimana ‘menikmati’ sebuah puisi. Membacanya keras-keras di tengah malam, di sebuah gua, bersama dengan orang-orang yang memiliki keingintahuan yang sama, lalu meresapi maknanya.

Ceritanya cukup panjang dan menguras emosi, dan kisah ini berakhir sedih. Neil, yang mencintai akting, mendapatkan peran sebagai Puck di drama A Midsummer Night’s Dream, dan tanpa seijin ayahnya, nekat berakting di drama ini. Ketika akhirnya ayahnya mengetahui ini, sang ayah kemudian memutuskan untuk mengirim Neil ke sekolah militer untuk mempersiapkan karirnya sebagai dokter. Tidak sanggup menghadapi kenyataan berat ini, Neil bunuh diri dengan pistol ayahnya, dengan dandanan sebagai Puck.

Filmnya sungguh-sungguh membekas di hati saya, dan begitu menemukan bukunya, saya dengan antusias membelinya. Memang berbeda rasanya, membaca buku yang diangkat dari film, dibanding menyaksikan film yang diangkat dari buku. Ada sedikit perasaan “ah sudah tahu ceritanya” dan memang, harus diakui bukunya tidak jauh berbeda dengan skenario yang dibuat Tom Schulman. Saya sedikit merasa bahwa bukunya ditulis dengan tergesa-gesa, seakan hanya ‘copy-paste’ dari skenario film, dengan penyesuaian sedikit untuk membuatnya menjadi prosa. Terjemahan bahasa Indonesianya juga menurut saya masih kasar, kurang bisa menyampaikan makna film ini secara mendalam. Untuk sebuah buku yang banyak dijadikan referensi di kelas, saya harus mengatakan lebih baik menonton filmnya daripada membaca bukunya.

Sisi positifnya, buku ini memberikan ‘heads-up’ untuk mereka yang belum menonton filmnya atau ingin melihat kembali filmnya. Nama-nama, tempat, kejadian, dan runtutan peristiwanya lebih ‘rapi’ dibanding dengan filmnya. Dan terjemahan puisi yang dibacakan bersama oleh Todd Anderson dan teman-temannya ini sungguh memukau.

"Kita bermimpi tentang esok, dan esok tak pernah ada;Kita bermimpi tentang kebanggaan yang tak benar-benar kita inginkan. Kita bermimpi tentang hari baru ketika hari baru sudah tiba. Kita lari dari peperangan ketika peperangan itu harus kita perjuangkan. Kita mendengarkan panggilan namun tak pernah benar-benar memperhatikan, Berharap akan masa depan ketika masa depan hanya direncanakan. Bermimpi tentang kebijakan yang kita hindari setiap hari. Berdoa bagi datangnya juru selamat ketika keselamatan ada di tangan kita. Dan masih saja kita terlelap. Dan masih saja kita terlelap. Dan masih saja kita berdoa. Dan masih saja kita takut...."

Carpe diem, seize the day :)

-Citra

P.S. Film/buku ini sudah beberapa kali muncul di Kompasiana, yang saya yakin karena kisahnya yang sungguh menginspirasi. Foto koleksi pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline