Lihat ke Halaman Asli

Marlistya Citraningrum

TERVERIFIKASI

Pekerja Millennial

Jakarta Oh Jakarta

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada yang bisa saya banggakan dari Jakarta, ibukota negara, selain mall-nya yang tersebar dimana-mana dan kelas dunia. Tapi itu pun bukan sebuah kebanggaan bagi saya. Tidak pernah sekalipun saya menyarankan teman-teman saya yang orang asing untuk berkunjung ke Jakarta.

Katakan saya sinis, tapi persoalan yang ada di Jakarta bukanlah persoalan yang langka atau tidak dialami kota-kota megapolitan yang lain. Taipei, Tokyo, dan Seoul juga mengalami hal sama. Lalu kenapa Jakarta jauh tertinggal dalam hal keteraturan dan kenyamanan, bahkan dari Kuala Lumpur yang bertetangga?

Terlalu banyak penduduk? Taipei memiliki luas area 271 km2, sedangkan Jakarta 740 km2. Bila dibandingkan, 1: 2,7. Jumlah penduduk, Taipei 2,6 juta; Jakarta 9,5 juta. Perbandingannya sekitar 1:3,6. Okelah kalau dibandingkan dengan Taipei, Jakarta kepadatan penduduknya lebih tinggi. Coba bandingkan dengan Seoul, yang memiliki luas area 605 km2, dengan jumlah penduduk 10,4 juta. Luas areanya lebih kecil dibanding Jakarta, dan jumlah penduduknya lebih banyak. Tapi Seoul pun nyaman dan ramah untuk penduduknya.

Saya percaya Jakarta itu ‘hanya’ salah maintenance. Jumlah penduduk memang banyak dituding sebagai penyebab masalah-masalah selanjutnya: banjir, kurangnya tempat tinggal, jalanan yang macet yang disebabkan karena banyaknya kendaraan pribadi, dsb. Tapi jumlah penduduk bukanlah alasan untuk tidak menjadikan Jakarta sebagai ibukota negara yang nyaman.

Hari ini saya makan di Q-square, salah satu mall di depan Taipei Main Station. Q-square  berada satu gedung dengan Taipei Bus Station. Tidak, Anda tidak salah membaca, bukan berada di area yang sama, melainkan satu gedung yang sama. Untuk membuat Taipei nyaman ditinggali, pemerintah menyediakan sarana transportasi yang terjangkau, nyaman, dan cepat untuk tujuan kota-kota di sekeliling Taipei City (Metro area) sehingga jumlah penduduk dalam kota bisa dikontrol. Salah satu sarana transportasi yang digunakan adalah bus. Karena keterbatasan lahan sementara penumpang terus meningkat, pemerintah kota merenovasi dan memperbesar Taipei Bus Station, tapi bukan ke samping, melainkan ke atas. Tidak memerlukan lahan baru, dan bisa menampung lebih banyak bus dan penumpang. Di gedung tersebut, di satu sisi, lantai 2-4 digunakan untuk stasiun bus. Di sisi yang lain: mall, hotel, dan residential area (1000 unit, yang disewakan dan tidak untuk dibeli).

Saya percaya pemerintah punya uang untuk membangun. Hanya mungkin tidak punya niat. Bagaimana pemerintah Taipei secara serius menangani kemacetan? Membatasi lahan parkir dan menaikkan tarif parkir. Membangun MRT (yang sampai sekarang masih terus dilebarkan ke kota-kota satelit). Menurut saya ini strategi yang bagus untuk mendorong pekerja yang bekerja di Taipei City untuk tinggal di kota-kota sekitar Taipei. Harga kontrak rumah lebih murah, transportasi juga cepat dan nyaman, dan Taipei City tidak 'kepenuhan'.

Soal kenyamanan. Kota-kota metropolitan di negara maju umumnya sudah sangat sadar dengan pemeliharaan lingkungan. Daerah-daerah tepian sungai misalnya, adalah area yang tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh dikurangi untuk pemukiman atau lahan parkir. Taman tengah kota wajib ada dan harus tetap dijaga dan tidak digantikan oleh mall atau gedung perkantoran. Jakarta? Coba bawa saya ke daerah tepian sungai yang nyaman dan bisa digunakan untuk bersepeda santai.

Kepemimpinan yang memiliki tekad dan kemauan untuk membangun Jakartalah yang kita perlukan. Uang dan sumber daya bisa diusahakan. Orang yang memiliki kemauan keras, pasti akan berusaha ekstra keras pula, tidak peduli dengan rintangan yang menghadang.

Tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri, contohlah walikota Surakarta, Joko Widodo. Karena sudah bertekad untuk mempercantik dan memperbaiki kota, tanpa menyerah Jokowi mengupayakan diplomasi untuk memindahkan pedagang asongan  ke tempat yang baru. Menawarkan relokasi sebagai solusi, tidak hanya meminta mereka pindah.

TransJakarta itu terobosan bagus, tapi tetap saja, kalau jumlah kendaraan pribadi tidak dibatasi, dan tidak ada akses nyaman dari ke luar kota Jakarta, semuanya masih akan “nggrumbul” di kota. Macet di sana-sini. Seperti kata Dee di novelnya, Supernova, “terkutuklah Jakarta yang memaksa warganya tua di jalan raya”.

Kalau tidak ada perubahan dari Jakarta, ibukota negara ini akan macet total dalam waktu dekat. So much for being a capital city.

-Citra




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline