Lihat ke Halaman Asli

Marlistya Citraningrum

TERVERIFIKASI

Pekerja Millennial

Mau Mencoba Mendeteksi Kebohongan?

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saya pilih-pilih jika menonton serial, apalagi jika ceritanya sedikit melebih-lebihkan. Ada satu serial yang sangat saya sukai karena dibuat secara akurat (meski tidak 100%), yaitu Bones. Yang produsernya memang seorang ahli antropologi forensik (Dr. Kathy Reichs). Selain itu, saya juga penggemar Lie to Me.

Lie to Me adalah serial yang menceritakan tentang seorang profesor yang ahli di bidang deception dan bisa mendeteksi kebohongan dari raut muka, gestur tubuh, dan pilihan kata. Serial ini juga dibuat berdasarkan riset di dunia nyata, dari Dr. Paul Ekman, yang disebut sebagai perintis di bidang mikroekspresi (microexpression). Salah satu riset Dr. Ekman adalah universal expression, yaitu kita memiliki ekspresi yang serupa (tidak peduli kita ras apa) untuk beberapa emosi seperti marah, sedih, atau kecewa.

Hasil riset itulah yang dituangkan di serial Lie to Me. Meski tidak generik, karena menurut saya ilmu seperti ini rentan multitafsir (berbeda dengan Bones yang menggunakan ‘hard science’), ada banyak hal-hal menarik yang saya dapatkan dari sana. Misalnya jawaban yang tegas dan cepat, dalam beberapa kasus itu justru menandakan kebohongan. Kadangkala ketika kita ditanya mengenai kejadian waktu lampau, kita memerlukan waktu untuk mengingat (ditandai dengan "rolling eyes", apa ya bahasa Indonesianya?). Justru ketika jawaban disampaikan dengan tegas dan repetitif (mengulangi pertanyaan), misalnya ditanya “apakah Anda pernah pergi ke rumah si A?” jawabannya “tidak, saya tidak pernah pergi ke rumah si A”; itu yang ditengarai sebagai jawaban bohong atau dipersiapkan. Atau ketika kita terlalu banyak membuat kontak mata dengan lawan bicara. Asumsi umum adalah ketika kita berbohong, biasanya kita menghindari tatapan mata lawan bicara. Menurut serial ini, justru ketika berbohong, kita membuat frekuensi menatap lawan bicara lebih sering untuk menanamkan kepercayaan.

Lainnya, ketidaksinkronan tangan dan pandangan mata. Ketika kita berbicara sebenarnya, arah pandangan mata dan tangan yang menunjuk itu sama atau bersamaan. Ini agak susah mencontohkannya. Saya contohkan yang waktunya tidak bersamaan saja. Jadi ada tipe orang yang ‘ilustratif’, alias ketika berbicara tangannya selalu membuat ilustrasi dari apa yang dikatakannya, atau setidaknya bergerak-gerak. Biasanya gerakan-gerakan ini bersamaan dengan pembicaraannya. Tapi ketika apa yang dikatakan sudah selesai dan gerakannya telat, itu artinya orang tersebut berbohong. Misalnya ada adegan seseorang marah dengan menggebrak meja. Jika orang tersebut benar-benar marah, meja akan digebrak saat dia melampiaskan kata-kata kemarahannya. Jika dia memaki-maki lalu baru menggebrak meja, then it is a lie.

Yang ketiga, distancing language. Kalau yang ini saya cukup familiar di kehidupan nyata karena banyak yang memakainya. Ketika ditanyai mengenai hubungannya dengan Monica Lewinsky, presiden Clinton menjawab, “I did not have relationship with that woman, Miss Lewinsky’.  Presiden Clinton tidak secara langsung menyebut Monica, melainkan menggunakan frase ‘that woman’. Ketahuan bohong kan akhirnya. Atau penggunaan kata-kata yang terlalu berlebihan, misalnya “saya benar-benar tidak pernah bertemu dengan si A”, yang seharusnya cukup dengan “saya tidak pernah bertemu dengan si A”.

Masih ada lagi? Wah, banyak. Hal menarik lain adalah: suara bisa menipu, meski dalam keadaan berbicara tatap muka. Suara yang bergetar (misalnya untuk menunjukkan kesedihan) haruslah diimbangi dengan raut muka yang juga sedih: mata yang sayu, kerutan di alis dan dahi, something like that. Jika tidak ada, seperti dicontohkan Dr. Lightman (tokoh utama di Lie to Me) dengan memutar video tanpa suara (hanya memperhatikan raut muka), maka itu adalah tanda berbohong. Kelemahannya, mereka yang menggunakan botox akan terdeteksi sebagai berbohong padahal otot muka mereka memang menjadi kaku karena suntikan botox.

Mau contoh yang sederhana dan gampang dijumpai? Cobalah membuat seseorang tersenyum atau tertawa. Jika ada kerutan di ujung mata, itu senyum atau tawa yang natural. Jika tidak, dia hanya berpura-pura. Atau perhatikan tangan lawan bicara Anda. Jika dia menunjukkan jari tengah (bukan secara langsung ke muka ya), misalnya ketika menunjuk sesuatu di kertas; itu artinya dia punya perasaan negatif terhadap sesuatu yang ada di kertas itu atau topik yang sedang dibicarakan. Atau jika keterkejutan lawan bicara Anda lebih dari 1/5 detik, maka dia sebenarnya tidak terkejut. Atau mungkin lemot. Haha.

Jangan semua dipercaya, namanya juga serial TV. Jangan jadi cepat curiga dengan orang gara-gara serial ini yaaa :D

Selamat tidur semuanya, *habis ngelembur buat meeting nanti siang*

-Citra




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline