Lihat ke Halaman Asli

Marlistya Citraningrum

TERVERIFIKASI

Pekerja Millennial

E-Waste, Kenapa Kita Sebaiknya Beli Barang Elektronik Sesuai Fungsinya

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_153957" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi//Admin (Shutterstock)"][/caption] Tulisan ini serius. Waktu membaca: 10-12 menit.

Iya, kenapa?

Karena sampah yang kita hasilkan bila kita terlalu sering berganti gadget. Sampah elektronik (e-waste) memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan sampah domestik, dan jauh lebih berbahaya.

Tidak percaya? Ini faktanya.

Di tahun 2011 (yang belum berakhir), 402 juta komputer personal (PC), 54,8 juta komputer tablet, dan 7,5 juta iPad terjual hanya dalam 6 bulan di seluruh dunia. Pengguna telepon genggam di dunia: 4 milyar, dengan 1,2 milyar telepon genggam terjual hanya di tahun 2009, 174 juta di antaranya adalah smartphones.

Berapa lama produk-produk elektronik ini bertahan (entah karena performa atau karena gengsi)?

TV, dalam kondisi normal, 5-7 tahun.

Komputer personal, 3-4 tahun.

Telepon genggam, kurang dari 2 tahun (teman saya ada yang berganti telepon genggam tiap 6 bulan).

Sampah padat (solid waste) yang sumbernya dari e-waste ini berjumlah sekitar 20 – 50 juta metrik ton per tahun dari seluruh dunia.

Dan kita tidak tahu atau tidak peduli kemana semua e-waste itu dibuang.

E-waste tidak “sesederhana” sampah domestik, yang kebanyakan adalah sampah organik sisa makanan, kertas, atau plastik. Dalam satu unit komputer misalnya, ada ratusan bahan kimia yang digunakan. Merkuri, timah (lead), tembaga (copper), cadmium, misalnya. Bahan-bahan kimia ini dikenal sebagai penyebab kanker, gangguan system tubuh, dan bahkan kematian dalam dosis yang fatal. Bahan-bahan kimia tersebut jugamemiliki karakteristik “tahan lama”, bisa menyebar jarak jauh melalui udara dan air, serta terakumulasi di tubuh manusia. Boleh dicari di Google MSDS-nya (Material Safety Data Sheet, yang memuat karakteristik bahan-bahan kimia secara spesifik), lalu lihat bagian "Hazard Identification".

Nah, ketika dibuang di landfill (ditimbun), bahan-bahan kimia tersebut bisa mengalami proses dekomposisi dan masuk ke dalam tanah, lalu dari sana mengalir ke water stream, dan selanjutnya, bisa kita tebak. Air adalah bagian tidak terpisahkan dari hidup. Ketika dibakar, e-waste tadi bisa melepas dioksin, produk samping industri yang dikategorikan sangat beracun.

Negara-negara maju banyak mengadopsi prinsip recycling, dimana e-waste ini dikembalikan ke institusi yang ditunjuk atau perusahaan yang memiliki sistem recycling supaya prosedur recycling-nya sesuai dengan rekomendasi pemerintah dan dengan demikian menghindari kontaminasi lingkungan. Meski begitu, ada juga perusahaan/recycler "nakal" yang justru menjual kembali e-waste ini ke negara-negara dunia ketiga di Asia atau Afrika (atau bahkan ke Indonesia?).

Lalu di negara berkembang seperti Indonesia, bagaimana sebaiknya kita mengelola e-waste? Dengan fasilitas pengolahan yang belum sophisticated, yang bisa saya sarankan adalah opsi untuk pengguna. Kita.

Itu kenapa sebaiknya kita membeli dan menggunakan gadget sesuai fungsinya. Jangan melulu karena gengsi. Dengan "setia" pada gadget yang kita miliki, kita bisa berkontribusi mengurangi jumlah e-waste di Indonesia. Jika gadget yang kita miliki sudah tidak bisa mengimbangi kebutuhan kita, jangan langsung dibuang. Bisa jadi ada sekolah yang memerlukan komputer Anda. Bisa jadi ada saudara yang membutuhkan BB Anda.

So, consume less :)

Salam cinta lingkungan,

-Citra




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline