Lihat ke Halaman Asli

Marlistya Citraningrum

TERVERIFIKASI

Pekerja Millennial

Tragedi John Green

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang namanya pengeluaran tak diduga, tentu bisa apa saja. Kalau pengalaman saya, ketika jalan ke mall, toko buku adalah godaan terbesar. Tidak berencana ke sana, namun ketika sampai, pasti ada yang dibawa pulang.

Tragedi untuk dompet.

Begitulah kisah di balik buku The Fault in Our Stars ini. Janjian bertemu teman lama di Central Park (Jakarta, bukan New York), masuk ke Gramedia, dan sialnya di Gramedia CP ini ada bagian buku impor. Kalah melawan godaan, saya mengambil buku karya John Green ini, sedikit mengumpat dalam hati karena harganya yang mencekik kantong, lalu pergi ke kasir.

Lalu menghabiskan dua hari sisanya merampungkan buku ini. Lalu mengakhirinya dengan mengumpat lagi, “John Green, you are a damn good writer.”

Oke, sinopsis singkat. The Fault in Our Stars ditulis berdasarkan sudut pandang Hazel Grace, seorang penderita kanker tiroid yang menyebar ke paru-parunya. Untuk membantu Hazel Grace menghadapi kankernya, Hazel Grace mengikuti sebuah support group bagi para penderita kanker, dan di sana dia bertemu dengan Augustus Waters, juga seorang penderita kanker yang salah satu kakinya harus diamputasi. Dan mereka berdua jatuh cinta. Dan tidak memiliki happy ending. Jadi jangan lupa siapkan tisu kalau Anda mudah tersentuh.

Anyway, lepas dari kisah cintanya, saya mengumpat John Green karena membeberkan sudut pandang lain tentang hidup, lebih spesifik lagi, tentang penderita kanker dan orang-orang di sekelilingnya. Catatannya di halaman awal buku ini pun membuat saya kagum terlalu dini. John Green menegaskan bahwa bukunya ini adalah sebuah karya fiksi, sepenuhnya fiksi, tapi itu tidak berarti kita tidak bisa mengambil nilai dan pelajaran dari dalamnya.

Itu poin pertama. Di antara sekian banyak kisah nyata yang memang menginspirasi, menyentuh, memberikan banyak pelajaran; Green menyodorkan pelajaran yang tak kalah inspiratif lewat sebuah karya fiksi.

Anda mungkin tahu Talia Castellano, gadis cilik berusia 13 tahun penderita neuroblastoma dan pre-leukimia yang berbagi tips mengenai make-up dan kemudian diundang di The Ellen Show. Banyak yang terharu dengan semangatnya, bahwa dengan kondisi kesehatannya yang memprihatinkan, gadis kecil ini tetap berusaha menjalani sisa hidupnya dengan riang, bahkan berbagai hal positif dengan orang-orang di sekelilingnya. Inspiratif? Tentu. Tapi Green justru melihat kebalikannya. Dalam sebuah percakapan antara Augustus dengan Hazel Grace, Augustus juga menyinggung mengenai hidup yang berarti. Hazel Grace waktu itu menjawab, “It’s really mean of you to say that the only lives that matter ara the ones that are lived for something or die for something. That’s a really mean thing to say to me.”

Pernahkah kita menyadari sudut pandang ini? Bahwa mereka yang sakit, yang divonis tinggal memiliki waktu sekian bulan atau tahun, belum tentu bisa melakukan sesuatu seperti Talia; hidup dalam sebuah opini yang menyakitkan, bahwa hidup yang dihabiskan biasa-biasa saja adalah sebuah hidup yang tak berarti. Dobel menyakitkan karena usia mereka yang juga terbatas.

Lalu apa yang dikatakan Augustus tentang mantan kekasihnya yang meninggal karena tumor otak.

“She was… I mean, to be honest, she was a bitch. But you can’t say that, because she had this tumor, and also she’s, I mean, she’s dead. And she had plenty of reason to be unpleasant, you know?”

Poin kedua. Bersikap positif mengenai banyak hal, apalagi yang tidak menyenangkan, memang sebuah kelebihan. Tapi ijinkan saya berbeda pendapat dengan Pak Mario Teguh salam super, bagi saya (dan mungkin bagi Green), being all the way positive is delusional. Bayangkan, seorang pesakitan, tidak punya waktu lama untuk menikmati hidup, selalu dikasihani, mereka memang punya banyak alasan untuk tidak bahagia, alasan untuk tidak berlaku menyenangkan. Tak setiap orang memilih untuk menjadi seorang yang baik dengan kondisi seperti itu. Dan apakah itu salah? Belum tentu.

Poin selanjutnya, about who matters and who don’t. Seberapa sering dalam hidup kita menghabiskan waktu, uang, dan tenaga untuk meninggalkan kesan bagi orang-orang yang kita kenal saja tidak? Kita terlalu sibuk memoles penampilan diri, menonjolkan sesuatu dengan segala upaya, tapi melupakan orang-orang dekat.

Augustus: Sometimes I dream that I’m writing a memoir. A memoir would be just the thing to keep me in the hearts and memories of my adoring public.

Hazel Grace: Why do you need an adoring public when you’ve got me?

Lalu berapa di antara kita yang sadar bahwa penulis dan apa yang ditulisnya berbeda? Novel favorit Hazel Grace, An Imperial Affliction, ditulis oleh seorang Peter Van Houten (yap, diceritakan bahwa Peter ini memang salah satu anggota keluarga Van Houten pemilik pabrik cokelat itu). Ceritanya juga tentang seorang gadis penderita kanker, dan uniknya, ceritanya berhenti di tengah kalimat, bahkan tanpa titik. Hazel Grace yang begitu penasaran dengan inti ceritanya, akhirnya terbang ke Amsterdam untuk menemui Peter dan menanyakan kelanjutannya. Apa yang terjadi? Peter ternyata seseorang yang secara karakter, buruk. Jauh berbeda dengan apa yang dibayangkan dari buku karyanya. Augustus menulis, “Van Houten, I’m a good person but a shitty writer. You’re a shitty person but a good writer.”

How true.

Dan yang terakhir, ceritanya mirip Inception. Bukan dari segi plot, tentu. The Fault in Our Stars lahir karena pengalaman Green dengan anak-anak dan remaja penderita kanker. Dari pengalaman itu, lahir buku ini, yang sudut pandangnya dari Hazel Grace. Di dalam buku ini, ada buku An Imperial Affliction, yang juga mengenai penderita kanker, ditulis dengan sudut pandang orang pertama. Untungnya di buku dalam buku ini, tidak ada buku lagi.

Kalau di An Imperial Affliction, ceritanya berakhir menggantung (sangat literal), The Fault of Our Starts juga menggantung, implisit. Membuat saya ingin menjadi Hazel Grace kedua, hanya kali ini bukan ke Amsterdam, melainkan ke Indianapolis, menagih cerita lanjutan mengenai Hazel Grace.

Selamat membaca, sayang bukunya belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.

XOXO,

-Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline