Lihat ke Halaman Asli

Marlistya Citraningrum

TERVERIFIKASI

Pekerja Millennial

Bahagia Jelajah Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14121560971630819009

Berbicara soal tema menulis, saya tahu bahwa saya adalah penulis gado-gado. Ada Kompasianer yang fokus menulis di bidang politik, lingkungan, atau kesehatan, sementara saya bisa dibilang menulis banyak tema tanpa memiliki spesialisasi di bidang tertentu.

Tapi bisa dibilang kalau saya cukup konsisten menulis mengenai pengalaman jalan-jalan atau berwisata. Pembuktiannya ada dua: dari jumlah artikel yang masuk Kompasiana Freez dan statistik tulisan saya setahun ini (karena kalau ditarik ke belakang, kejauhan).

Ketika saya bergabung dengan Kompasiana, Freez belum lahir. Versi cetak Kompasiana yang tayang di harian Kompas setiap hari Kamis, lalu berganti hari Rabu ini merupakan apresiasi sekaligus motivasi besar bagi Kompasianer untuk menulis. Ya siapa yang tidak berbangga ketika tulisan kita naik cetak? Di Kompas, pula. Sepanjang Freez hadir di Kompas, artikel saya beberapa kali masuk Freez, dan coba tebak, berapa persennya yang merupakan artikel wisata? Enam puluh persen. Artikel wisata di Indonesia hanya satu, sisanya Taiwan, Korea, dan Jepang. Sedikit nyombong, kata admin, saya adalah salah satu Kompasianer yang tulisannya paling banyak diangkat ke Freez. Ihiy!

[caption id="attachment_329121" align="aligncenter" width="560" caption="Dua artikel di Freez tentang wisata"]

14133346031884341147

[/caption]

Pulang ke Indonesia, saya mengambil gap year yang diisi dengan jalan-jalan (baca cerita saya soal "setahun nganggur" itu di sini). Tidak ke banyak tempat memang, masih di sekitaran Indonesia bagian barat. Dari perjalanan saya itu, beberapa saya tuliskan di Kompasiana (HL yang beneran Head Line, ada beberapa; yang Hanya Lewat juga ada). Statistik tulisan saya sepanjang setahun ini (terhitung sejak saya kembali ke Indonesia September tahun lalu) menunjukkan bahwa sepertiga dari tulisan saya temanya, lagi-lagi, jalan-jalan alias berwisata. Kalau tahun-tahun sebelumnya saya banyak menulis pengalaman jalan-jalan di luar, kali ini tentu saja temanya jalan-jalan di Indonesia. Saya bersemangat sekali jalan-jalan di Indonesia dan menuliskan memoar perjalanan saya, sampai-sampai kemudian lahir blog khusus untuk mendokumentasikan cerita perjalanan saya.

Why? Karena sebagai orang Indonesia saya gemes sama diri sendiri karena belum menjelajah Indonesia sepenuhnya.

Hayo, siapa yang nggak tahu G-Land itu di mana? Pantai yang disebut sebagai surfing heaven ini memang kalah terkenal dari Bali, padahal letaknya dekat sekali dari Pulau Dewata. Karena penasaran dengan pantai yang lebih terkenal di kalangan wisatawan mancanegara ini, akhirnya saya ke sana, bela-belain menempuh medan berat. Tapi memang benar kata pepatah, semakin tidak terjamah manusia (alias semakin susah jalan ke sananya), semakin indah alamnya.

Dalam perjalanan menyusur pesisir selatan Banyuwangi pula saya menemukan pantai rahasia (*halah) yang cantiknya setengah mati. Airnya berwarna hijau toska dengan pasir putih yang seakan tak pernah diinjak makhluk apapun. Saya terpana, sungguh. Lalu termenung. Haruskah kita tidak membiarkan tempat seperti ini dibuka untuk wisata umum supaya keindahannya tetap perawan? Dari permenungan itu, lahirlah tulisan soal etika berwisata. Iya kita sekarang sudah melek mengenai liburan sebagai kebutuhan, tapi sudahkah sadar mengenai etikanya?

Masih seputar Banyuwangi, kabupaten di ujung timur Pulau Jawa ini menyimpang berlian. Tak hanya pantai, juga gunung dan savana. Karena terlalu egois untuk disimpan sendiri, segitiga berlian Banyuwangi itu muncul juga di Kompasiana, yang kemudian naik cetak di Freez. Satu-satunya tulisan wisata saya tentang Indonesia! *malu*

14133355342005514876

Apakah perjalanan saya sudah selesai? Tentu belum. Ada lagi cerita tentang masjid yang dibangun oleh jin (hiiiiy!) di Malang. Saya sampai mangap melihat arsitektur masjidnya yang memang wow banget. Dan tak cuma Mark Zuckerberg yang bisa menikmati sensasi Borobudur dinihari, karena sudah kepengen dari dulu, relalah saya merogoh kocek cukup dalam untuk menikmati keistimewaan masuk Borobudur jam 4 pagi dan menunggu matahari terbit.

[caption id="attachment_329123" align="aligncenter" width="576" caption="Mana bisa foto sendiri begini kalau bukan dini hari"]

14133357981800939563

[/caption]
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline