Lihat ke Halaman Asli

Citra Nanda Agung Subekti

UPN "Veteran" Yogyakarta

Dinamika Hubungan Bilateral Myanmar terhadap China

Diperbarui: 16 Juni 2023   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam menjelaskan hubungan antara satu negara dengan negara lainnya tentu tak terlepas dari pengaruh kebijakan luar negeri dari masing-masing negara tersebut.  Hubungan antara Myanmar dan China telah terbentuk sejak tahun 1949, dimana pada saat itu Myanmar menjadi negara non-komunis pertama yang mengakui Republik Rakyat China. Selama menjalin hubungan bilateral dengan China, Myanmar tetap memegang prinsip kebijakan luar negerinya yang mandiri, aktif, dan non-blok.

Perilaku Myanmar dalam membangun hubungan terhadap negara lain, termasuk China, didasari oleh kebijakan luar negerinya yang mengutamakan keamanan nasional, peningkatan pembangunan nasional, pembangunan komunitas regional dan kedudukan internasional, serta prinsip non-bloknya. Seiring berjalannya waktu, Myanmar memfokuskan hubungan bilateralnya untuk tujuan pembangunan ekonomi. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi dasar dari hubungan Myanmar dan China hingga saat ini.

China merupakan salah satu mitra dagang terbesar bagi Myanmar. Kegiatan impor dan ekspor Myanmar telah didominasi oleh China. Tercatat bahwa perdagangan bilateral antara Myanmar dan Malaysia bernilai USD 12 miliar pada tahun 2019 lalu. Kegiatan ekspor impor antara Myanmar dan China telah terjadi selama bertahun-tahun. Bahkan sejak 2001, impor barang terbesar di Myanmar berasal dari China. Selanjutnya yaitu ekspor yang dilakukan Myanmar ke China didominasi oleh timah olahan.  Tercatat sebanyak 30-35% konsentrat timah yang dibutuhkan oleh China  berasal dari Myanmar. 

Walaupun China merupakan mitra dagang terbesar bagi Myanmar, hal tersebut tidak menjadikan Myanmar sebagai sekutu dari China. Myanmar tetap menganut prinsip non-blok dengan melakukan strategi hedging. Dengan menerapkan strategi hedging, Myanmar berarti tidak memihak kepada siapa pun. Myanmar memposisikan negaranya diantara kedua sekutu, dimana ia dapat secara fleksibel membangun hubungan atau kerjasama terhadap semua kekuatan besar yang bersaing.  Dengan menerapkan strategi tersebut juga Myanmar dapat memaksimalkan tujuannya untuk memenuhi kepentingan nasionalnya dengan membangun kerjasama terhadap pihak yang lebih menguntungkan tanpa menjadi musuh bagi pihak lain.

Kerjasama ekonomi antara Myanmar dan China juga terjadi dalam bidang persenjataan. Myanmar telah melakukan impor senjata dari China sejak tahun 1988. Tercatat antara tahun 2010-2019 Myanmar telah mengimpor senjata senilai USD 1,3 miliar dari China. Senjata tersebut berupa radar, kapal perang, pesawat tempur dan latih, drone bersenjata, kendaraan lapis baja, dan rudal. Selain itu, 90% transportasi militer milik Myanmar juga berasal dari China.

Salah satu alasan Myanmar memilih China sebagai pemasok utama di negaranya adalah kondisi geografis kedua negara tersebut. Negara Myanmar yang berbatasan langsung dengan China menjadikan biaya transportasi terutama melalui darat menjadi lebih murah dibandingkan dengan negara lain. Namun keuntungan yang didapatkan Myanmar dari kerjasama bilateralnya terhadap China membuat Myanmar memiliki ketergantungan. Menyadari hal tersebut, Myanmar kemudian mulai mengurangi ketergantungan tersebut sejak tahun 2011. dengan membatalkan beberapa proyek China, salah satunya yaitu pembatalan jalur kereta api ke Kyaupyu pada 2015.

Tindakan Myanmar dalam mengurangi kerjasama dengan China tidak hanya disebabkan oleh upaya Myanmar untuk tidak lagi ketergantungan terhadap China. Tindakan tersebut juga didasari oleh ketidakpercayaan Myanmar terhadap China. Keraguan Myanmar terhadap  China tersebut disebabkan oleh alasan historis dimana China berperan dalam mendukung kelompok pemberontak di Myanmar dengan memasok senjata dan memberikan bantuan terhadap para pemberontak yang berlangsung sejak tahun 1948. 

Pada akhirnya, keraguan Myanmar terhadap China terbukti saat konflik di Myanmar kembali memanas sehingga menghasilkan kudeta oleh rezim militer pada Februari 2021 lalu.  Pada awalnya hubungan China dan Myanmar mulai merenggang karena muncul kekhawatiran China terhadap tindakan agresif kelompok militer di Myanmar yang menyebabkan kemerosotan ekonomi di Myanmar. Hal tersebut kemudian menyebabkan turunnya nilai investasi China di Myanmar. Selain itu, investasi China di Myanmar pun ikut terdampak dengan menjadi sasaran bagi para demonstran.

Namun kekhawatiran tersebut seolah hilang semenjak China memutuskan untuk mendukung rezim militer di Myanmar. China menganggap dukungannya terhadap junta akan memberikan peluang yang lebih baik bagi China untuk melindungi investasinya di negara tersebut. China juga mengharapkan akses terhadap sumber daya alam di Myanmar yang lebih besar dengan menjadi sekutu bagi junta militer.

Alasan historis atas keraguan Myanmar terhadap China kembali terulang. China kembali memberikan bantuan kepada rezim pemberontak di Myanmar, yaitu rezim militer. Bantuan tersebut berupa bantuan persenjataan baru yang digunakan oleh junta dalam memerangi warga sipil. Bantuan tersebut bertujuan untuk mendukung kemenangan rezim militer di Myanmar yang dapat dimanfaatkan China dalam meningkatkan kerjasama ekonomi terhadap Myanmar.

Myanmar dibawah rezim militer yang dipimpin oleh Jendral Min Aung Hlaing tetap membangun kerjasama dengan China, salah satunya adalah dengan melanjutkan rute inisiatif Belt and Road yang telah ditandatangani Myanmar sejak tahun 2013 lalu. Di dalam kebijakan Belt and Road tersebut terdapat berbagai proyek infrastruktur besar didalamnya. Salah satu bentuk kerjasama yang disepakati Myanmar terhadap China dibawah kepemimpinan rezim militer ini adalah pembangunan kawasan industri yang lebih banyak oleh China. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline