Kudeta oleh rezim militer di Myanmar telah terjadi selama lebih dari dua tahun, terhitung sejak bulan Februari 2021 silam. Pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok militer di Myanmar tersebut tak kunjung menemui penyelesaian. Sejak terjadinya kudeta, junta militer kerap kali melakukan tindak kekerasan hingga menewaskan setidaknya 1.500 korban jiwa.
Dalam melaksanakan kudeta ini Junta militer diduga mendapat dukungan dari pihak eksternal, salah satunya adalah China. China dituding sebagai salah satu sumber kekuatan terbesar dari rezim militer di Myanmar. Awalnya China sempat merasa khawatir terhadap tindakan Junta militer yang semula hanya memunculkan protes terhadap pemerintah namun berubah ke arah perlawanan bersenjata. Namun hingga saat ini China tetap mengirimkan bantuan kepada rezim militer di Myanmar yang kemudian menjadikannya sebagai sekutu bagi Junta militer.
Kekhawatiran China terhadap tindakan agresif Junta Militer disebabkan oleh faktor ekonomi. Terjadinya tindak kekerasan selama kudeta menyebabkan penurunan ekonomi di Myanmar yang kemudian menyebabkan turunnya nilai investasi di negara tersebut. Selain itu, investasi China di Myanmar pun ikut terdampak dengan menjadi sasaran bagi para demonstran.
Namun kekhawatiran tersebut seolah hilang semenjak China memutuskan untuk mendukung rezim militer di Myanmar. China menganggap dukungannya terhadap junta akan memberikan peluang yang lebih baik bagi China untuk melindungi investasinya di negara tersebut. China juga mengharapkan akses terhadap sumber daya alam di Myanmar yang lebih besar dengan menjadi sekutu bagi junta militer.
China sempat membantah tudingan bahwa negaranya mendukung rezim militer di Myanmar. Juru Bicara Kementrian Luar Negeri China, Wang Wenbin, merespon tuduhan tersebut dengan mengatakan, "Teori-teori yang bersangkutan tersebut tidak benar", lanjutnya ia mengatakan bahwa "Kami berharap permasalahan di Myanmar dapat diselesaikan dengan tepat seta menegakkan stabilitas politik dan sosial". Namun hal tersebut menjadi bantahan tak berdasar karena faktanya China masih terus mengirimkan bantuan kepada junta militer di Myanmar. China bahkan berdalih dengan mengatakan konflik yang terjadi di Myanmar tersebut bukanlah kudeta, melainkan "perombakan kabinet".
Dukungan China terhadap rezim militer Myanmar diawali dengan keputusan China untuk menjadi tuan rumah untuk perwakilan urusan internasional tertinggi junta, Wunna Maung Lwin, pada Juni 2021 lalu. Sejak saat itu China terus membangun hubungan baik dengan pihak junta. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) China bahkan membangun kerjasama baru dengan junta, yaitu dengan bermitra dengan rezim militer yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing dan berencana menjadi tuan rumah pada pertemuan puncak kerja sama Lancang-Mekong (LMC) sebelum akhir tahun 2022. Namun rencana China untuk menjadi tuan rumah bagi LMC gagal karena China mendapat tekanan dari negara-negara ASEAN yang khawatir tindakan China tersebut dapat menghambat ASEAN dalam upayanya untuk menciptakan perdamaian di Myanmar.
Namun dukungan China terhadap junta tidak berakhir begitu saja. China tetap memberikan bantuan kepada rezim militer di Myanmar. Bantuan tersebut berupa bantuan persenjataan baru yang digunakan oleh junta dalam memerangi warga sipil. Bantuan tersebut bertujuan untuk mendukung kemenangan rezim militer di Myanmar yang dapat dimanfaatkan China dalam meningkatkan kerjasama ekonomi terhadap Myanmar.
Adapun dukungan lain yang diberikan China terhadap junta militer yaitu keputusan China untuk lebih banyak membangun kawasan industri di Myanmar. China menerapkan rute inisiatif Belt and Road yang mencakup berbagai proyek infrastruktur besar didalamnya. Salah satu proyek yang diluncurkan adalah proyek LNG, dimana dengan adanya proyek ini dapat meningkatkan kepercayaan para investor utama bahwa rezim militer dapat diandalkan dalam mewujudkan proyek-proyek besar kedepannya.
Bantuan China terhadap junta militer di Myanmar tidak terbatas pada bantuan persenjataan dan kerjasama ekonomi saja. China bahkan menghalangi Dewan Keamanan PBB dalam mengecam tindakan kudeta oleh rezim militer di Myanmar tersebut. Dalam rapat Dewan Keamanan PBB terkait Myanmar, China menolak untuk menyetujui pernyataan bersama terkait kecaman terhadap kudeta Myanmar. Penolakan China tersebut membuat pernyataan tersebut gagal disepakati. Hal tersebut dikarenakan China sebagai anggota permanen Dewan Keamanan PBB memiliki hak veto.
Penolakan China terhadap pernyataan kecaman terhadap kudeta militer menjadi salah satu bentuk dukungan China terhadap rezim militer tersebut. Meskipun demikian, China tetap mengelak tudingan dalam mendukung junta militer di Myanmar. Pakar Myanmar di Universitas Nasional Singapura, Elliot Prasse-Freeman, mengatakan "China seolah menganggap konflik yang terjadi di Myanmar sebagai isu internal, dimana yang terjadi merupakan perombakan kabinet seperti yang dinyatakan dalam media massa milik pemerintah China."
Menurut China, sanksi internasional hanya akan memperburuk keadaan di Myanmar. Hal tersebutlah yang menjadi alasan China dalam menolak pernyataan kecaman terhadap kudeta Myanmar. China menganggap berbagai kerjasama yang dilakukannya bersama pihak junta tidak langsung berarti China mendukung tindakan kudeta yang dilakukan pihak junta militer. Pada dasarnya tindakan-tindakan yang dilakukan China hanya didasari oleh kepentingan ekonomi, tanpa ada ketertarikan lebih untuk menyelesaikan konflik di negara tersebut.